Jumat, 14 Juni 2013

Pembinaan Karakter Bangsa



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
        Pembinaan karakter bangsa memiliki urgensi yang sangat luas dan bersifat multidimensional. Sangat luas karena terkait dengan pengembangan multiaspek  potensi-potensi keunggulan bangsa dan bersifat multidimensional karena mencakup dimensi-dimensi kebangsaan yang hingga saat ini sedang dalam proses “menjadi”.  Dalam hal ini dapat juga disebutkan bahwa:
(1)   karakter merupakan hal sangat esensial dalam berbangsa dan bernegara,
 hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa
(2)   karakter berperan sebagai “kemudi” dan kekuatan sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing
(3)    karakter tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dibangun dan dibentuk untuk menjadi       bangsa yang bermartabat.

 Selanjutnya, pembinaan karakter bangsa akan mengerucut pada tiga tataran besar, yaitu
(1) untuk menumbuhkan dan memperkuat jati diri bangsa,
(2) untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan (3) untuk membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia dan bangsa yang bermartabat.
 Pembinaan karakter bangsa harus diaktualisasikan secara nyata dalam bentuk aksi nasional dalam rangka memantapkan landasan spiritual, moral, dan etika pembangunan bangsa sebagai upaya untuk menjaga jati diri bangsa dan memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam naungan NKRI. Pembinaan karakter bangsa harus dilakukan melalui pendekatan sistematik dan integratif dengan melibatkan keluarga; satuan pendidikan; pemerintah; masyarakat termasuk teman sebaya, generasi muda, lanjut usia, media massa, pramuka, organisasi kemasyarakatan, organisasi politik, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat; kelompok strategis seperti elite struktural, elite politik, wartawan, budayawan, agamawan, tokoh adat, serta tokoh masyarakat. Adapun strategi pembinaan karakter dapat dilakukan melalui sosialisasi, pendidikan, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerja sama dengan memperhatikan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat serta pendekatan multidisiplin yang tidak menekankan pada indoktrinasi.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang di maksud dengan karakter, karakter bangsa, dan pembinaan karakter bangsa ?
2.      Lingkunagan apa saja yang mempengaruhi karakter bangsa?
3.      Bagaimana hasil karakter yang diharapkan dari pembinaan karakter bangsa dalam rangka        
         ketahanan nasional?
4.      Bagaimana strategi pembinaan karakter bangsa dalam rangka ketahanan nasional?

C.    TUJUAN PENULISAN
        Pembinaan karakter bangsa bertujuan untuk membina dan mengembangkan karakter warga negara sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

D.    METODE PENGUMPULAN DATA
1.      Metode pengambilan data dari sumber-sumber bacaan
2.   Mencari bahan dari internet
3.   Mengumpulkan informasi        

E.     SISTEMATIKA PENULISAN
            Di dalam makalah ini, penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :
1. Pendahuluan
2. Pembahasan
3. Penutup 

BAB II
TINJAUAN PUSTA
Keberhasilan dari sejarah panjang Keindonesiaan yang membuahkan kemerdekaan tersebut pada hakikatnya digelorakan oleh ”semangat perubahan/pembaruan” yang disuburkan oleh mosaik nilai-nilai keadilan, kekeluargaan, gotong-royong, kebersamaan, toleransi, mufakat, persatuan, komitmen, keberanian, keuletan, sikap pantang menyerah dan yang terpenting adalah keteladanan. Para founding fathers/mothers telah membingkai nilai-nilai tersebut dalam pigura Pancasila sebagai ”pandangan hidup bangsa” (Weltanschauung) yang dihasilkan dalam sidang BPUPKI/PPKI pada 1 Juni 1945, kemudian secara legal-formal ditetapkan bersamaan dengan diberlakukannya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945. Dengan demikian Pancasila secara resmi telah mengikat seluruh bangsa Indonesia (terutama kaum elit-politiknya) dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Berarti pula Pancasila telah disepakati dan resmi menjadi Jatidiri Bangsa Indonesia yang harus dibentuk lewat proses akbar ”Character Building” yang tetap berkelanjutan (never ending process).
 Namun pertanyaan besar yang selalu menggelitik akal budi, mengusik nurani adalah apakah nilai-nilai tersebut masih tetap hidup dan berkembang dalam sanubari anak-anak bangsa Indonesia? Berbagai fenomena memperlihatkan betapa nilai-nilai tersebut telah mengalami kelunturan, erosi dan degradasi. Padahal para founding fathers/mothers secara sangat cerdas, arif dan visioner telah memformulasikan Pancasila dengan merujuk pada nilai-nilai kearifan lokal serta nilai-nilai yang berkembang secara global-universal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pancasila adalah buah perkawinan antara ”lokalitas dan universalitas” yang sangat tepat, relevan untuk bangsa Indonesia, benar-benar berakar dan bersumber pada ranah Keindonesiaan yang ideal sekaligus realistis. Sehingga Prof. Syafii Maarif mengapresiasinya sebagai ”masterpiece” (karya agung) anak bangsa dan Jacob Oetama menyebutnya sebagai hasil dari pemikiran cerdas yang mendahului jamannya (Syahnakri.2009).
 Kondisi saat ini  tingkat kesadaran generasi muda terhadap ideologi bangsa semakin menurun.  Indikator semakin menurunnya tingkat kesadaran ideologi bangsa tampak pada masih banyaknya generasi muda yang memiliki perilaku semakin jauh dari nilai-nilai utama Pancasila. Nilai-nilai utama Pancasila pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga jenis nilai, meliputi: ketuhanan, keilmuan dan kebangsaan yang merupakan pilar-pilar utama dari karakter bangsa. Ketuhanan, berkaitan dengan rendahnya tingkat ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, keilmuan berkaitan dengan rendahnya tingkat penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memecahkan masalah kehidupan, edangkan kebangsaan berkaitan dengan menurunnya rasa nasionalisme atau kecintaan kepada tanah air, negara dan bangsa.  Degradasi kesadaran ideologi bangsa apabila dibiarkan berlangsung secara terus menerus maka akan semakin dapat membahayakan ketahanan nasional dan stabilitas negara juga akan semakin rapuh.
Bangsa Indonesia sampai saat ini belum memiliki landasan pedagogis yang kuat dan kokoh dalam menanamkan kesadaran nilai-nilai karakter bangsa.  Pengembangan pembinaan karakter bangsa pada generasi muda melalui aplikasi “Pendidikan Karakter” di semua jenjang lembaga-lembaga pendidikan masih belum menemukan format yang tepat dan sesuai dengan karakteristik bangsa. Memang, apabila ditinjau dari landasan yuridis, pendidikan karakter telah tertuang dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), dan telah ditindaklanjuti dengan kebijakan Kemdiknas untuk diberlakukan pada semua jenis dan jenjang pendidikan mulai TA. 2011. Hal ini berarti secara makro, pendidikan karakter telah memiliki landasan yuridis yang cukup kuat, akan tetapi secara mikro, pada aplikasi di tingkat satuan pendidikan dan kelas, pendidikan karakter yang telah dicanangkan ini belum memiliki landasan pedagogis yang mendasarinya. Setiap pengembangan pendidikan harus dilandasi dengan teori-teori pendidikan. Untuk meningkatkan kualitas praktek pendidikan diperlukan aplikasi dari berbagai teori pendidikan. Apabila melihat sejarah reformasi pendidikan hampir selalu berakhir dengan keadaan yang lebih buruk. Hal ini disebabkan karena reformasi pendidikan tersebut tidak ditopang dengan landasan teori yang cukup kuat dan berkualitas  (Amori,2007:51-77).
Dalam kasus Indonesia, krisis karakter, mengakibatkan bangsa Indonesia kehilangan kemampuan untuk mengerahkan potensi masyarakat guna mencapai cita-cita bersama. Krisis karakter ini seperti penyakit akut yang terus menerus melemahkan jiwa bangsa, sehingga bangsa kita kehilangan kekuatan untuk tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang maju dan bermartabat di tengah-tengah bangsa lain di dunia.
Krisis karakter di Indonesia tercermin dalam banyak fenomena sosial ekonomi yang secara umum dampaknya menurunkan kualitas kehidupan masyarakat luas. Korupsi, mentalitas peminta-minta, konflik horizontal dengan kekerasan, suka mencari kambing hitam, kesenangan merusak diri sendiri, adalah beberapa ciri masyarakat yang mengalami krisis karakter.
Korupsi, korupsi adalah salah satu bentuk krisis karakter yang dampaknya sangat buruk bagi bangsa Indonesia. Dalam pergaulan internasional, posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia telah menyebabkan bangsa ini kehilangan martabat di tengah-tengah bangsa lain. Korupsi terjadi karena orang-orang kehilangan beberapa karakter baik, terutama sekali kejujuran , pengendalian diri (self regulation), dan tanggung jawab sosial.
Kesenangan merusak diri sendiri. Di samping korupsi, memudarnya karakter di Indonesia ditunjukkan oleh meningkatnya ‘kesenangan’ dari sebagian warganya terlibat dalam kegiatan atau aksi aksi yang berdampak merusak atau menghancurkan diri –bangsa kita- sendiri (act of self distruction). Ketika bangsa-bangsa lain bekerja keras mengerahkan potensi masyarakatnya untuk meningkatkan daya saing negaranya, kita di Indonesia sebagian dari kita malah dengan bersemangat memakai energi masyakat untuk mencabik-cabik dirinya sendiri, dan sebagian besar yang lain terkesan membiarkannya. Memecahkan perbedaan pendapat atau pandangan dengan menggunakan kekerasan, secara sistematik mengobarkan kebencian untuk memicu konflik horizontal atas dasar SARA, dan menteror bangsa sendiri adalah beberapa bentuk dari kegiatan merusak diri sendiri. Ini terjadi karena makin memudarnya nilai-nilai kemanusiaan yang mencakup semangat dan kesediaan untuk bertumbuh kembang bersama, secara damai, dalam kebhinekaan (Nunut. 2011).

BAB III
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Karakter, Karakter Bangsa, dan Pembangunan Karakter Bangsa

1. Karakter
Karakter adalah  nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau sekelompok orang. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan.

2. Karakter Bangsa
Karakter bangsa adalah  kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang khas-baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku  berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang. Karakter bangsa Indonesia akan menentukan perilaku kolektif kebangsaan Indonesia yang khas-baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku  berbangsa dan bernegara Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, norma UUD 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen terhadap NKRI.

3. Pembinaan Karakter Bangsa
Pembinaan Karakter Bangsa adalah upaya kolektif-sistemik suatu negara kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan dasar  dan ideologi, konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks kehidupan nasional, regional, dan global yang berkeadaban untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi Ipteks berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pembinaan karakter bangsa dilakukan secara koheren melalui proses sosialisasi, pendidikan dan pembelajaran, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerja sama  seluruh komponen bangsa dan negara.

B.     Lingkungan yang mempengaruhi karakter bangsa

1.      Lingkungan Global
Globalisasi dalam banyak hal memiliki kesamaan dengan internasionalisasi yang dikaitkan dengan  berkurangnya peran dan batas-batas suatu negara yang disebabkan adanya peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui berbagai bentuk interaksi. Globalisasi juga dapat memacu pertukaran arus manusia, barang, dan informasi tanpa batas. Hal itu dapat menimbulkan dampak terhadap penyebarluasan pengaruh budaya dan nilai-nilai termasuk ideologi dan agama dalam suatu bangsa yang sulit dikendalikan. Pada gilirannya hal ini akan dapat mengancam jatidiri bangsa.
Berdasarkan indikasi tersebut, globalisasi dapat membawa perubahan terhadap pola berpikir dan bertindak masyarakat dan bangsa Indonesia, terutama masyarakat kalangan generasi muda yang cenderung mudah terpengaruh oleh nilai-nilai dan budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian dan karakter bangsa Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya dan strategi yang tepat dan sesuai agar masyarakat Indonesia dapat tetap menjaga nilai-nilai budaya dan jati diri bangsa serta generasi muda tidak kehilangan kepribadian sebagai bangsa Indonesia.

2.      Lingkungan Regional
Pada lingkungan regional, pengaruh globalisasi juga membawa dampak terhadap terkikisnya budaya lokal di zona negara-negara Asia Tenggara. Dampak tersebut berwujud adanya ekspansi budaya dari negara-negara maju yang menguasai teknologi informasi. Meskipun telah dilaksanakan upaya pencegahan melalui program kerja sama kebudayaan, namun melalui teknologi infomasi yang dikembangkan, pengaruh negara lain dapat saja masuk. Produk-produk budaya disebarluaskan melalui berbagai teknologi media yang akhirnya membentuk perilaku baru, kebudayaan baru, dan kemungkinan jati diri baru. Hal ini tentunya merupakan ancaman bagi pembinaan sikap, perilaku, dan jati diri sebagai suatu bangsa.
Perkembangan regional Asia atau lebih khusus ASEAN dapat membawa perubahan terhadap pola berpikir dan bertindak masyarakat dan bangsa Indonesia. Untuk itu, diperlukan strategi yang tepat dan sesuai agar masyarakat Indonesia dapat tetap menjaga nilai-nilai budaya dan jati diri bangsa serta generasi muda tetap memiliki kepribadian sebagai bangsa Indonesia.

3.      Lingkungan Nasional
Perkembangan politik di dalam negeri dalam era reformasi telah menunjukkan arah terbentuknya demokrasi yang baik. Selain itu telah direalisasikan adanya kebijakan desentralisasi kewenangan melalui kebijakan otonomi daerah. Namun, sampai saat ini, pemahaman dan implementasi konsep demokrasi dan otonomi serta pentingnya peran pemimpin nasional masih belum memadai. Sifat kedaerahan yang kental dapat mengganggu proses demokrasi dan bahkan mengganggu persatuan nasional.
Harus diakui bahwa banyak kemajuan yang telah dicapai bangsa Indonesia sejak lebih dari enam puluh tahun merdeka. Pembangunan fisik dimulai dari zaman orde lama, orde baru, orde reformasi hingga pasca reformasi terasa sangat pesat, termasuk pembangunan infrastruktur pendukung pembangunan yang mencapai tingkat kemajuan cukup berarti. Misalnya, jaringan listrik, jaringan komunikasi, jalan raya, berbagai sumber energi, serta prasarana dan sarana pendukung lainnya. Kemajuan fisik yang terlihat kasat mata adalah banyaknya gedung bertingkat di kota-kota besar di Indonesia yang mengindikasikan kemajuan bangsa Indonesia dalam bidang pembangunan. Selain itu, kemajuan penting yang dicapai dalam tata pemerintahan adalah diluncurkannya Undang-undang tentang Otonomi Daerah pada tahun 2001 yang memberi keleluasaan kepada pemerintah daerah, provinsi dan kabupaten/kota untuk membangun daerah dengan kekuatan dan potensi yang dimilikinya.
Kemajuan di bidang fisik harus diimbangi dengan pembangunan nonfisik, termasuk membina karakter dan jati diri bangsa agar menjadi bangsa yang kukuh dan memiliki pendirian yang teguh. Sejak zaman sebelum merdeka hingga zaman pasca reformasi saat ini perhatian terhadap pendidikan dan pengembangan karakter terus mendapat perhatian tinggi. Pada awal kemerdekaan pembangunan pendidikan menekankan pentingnya jati diri bangsa sebagai salah satu tema pokok pembinaan karakter dan pekerti bangsa. Pada zaman Orde Lama, Nation and Character Building merupakan pembinaan karakter dan pekerti bangsa. Pada zaman Orde Baru, pembinaan karakter bangsa dilakukan melalui mekanisme penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Pada zaman Reformasi, sejumlah elemen kemasyarakatan menaruh perhatian terhadap pembinaan karakter bangsa yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan.

C.    Karakter yang Diharapkan
Secara psikologis karakter individu dimaknai sebagai hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa. Olah hati berkenaan dengan perasaan sikap dan keyakinan/keimanan. Olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif. Olah raga berkenaan dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas. Olah rasa dan karsa berkenaan dengan kemauan dan kreativitas yang tecermin dalam kepedulian, pencitraan, dan penciptaan kebaruan. Karakter individu yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila pada masing-masing bagian tersebut, dapat dikemukakan sebagai berikut.
1.      Karakter yang bersumber dari olah hati, antara lain beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik;
2.      Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif;
3.      Karakter yang bersumber dari olah raga/kinestetika antara lain bersih, dan sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih;
4.      Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran, nasionalis, peduli, kosmopolit (mendunia), mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air (patriotis), bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja. Olah hati, olah pikir, olah raga, serta olah rasa dan karsa sebenarnya saling terkait satu sama   
         lainnya. Oleh sebab itu, banyak aspek karakter yang dapat dijelaskan sebagai hasil dari
         beberapa proses.

D.    STRATEGI PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA

1.    Strategi Pembinaan Karakter Bangsa Melalui Sosialisasi
Sosialisasi dimaknai sebagai usaha sadar dan terencana untuk membangkitkan kesadaran dan sikap positif terhadap pembangunan karakter bangsa guna mewujudkan masyarakat yang berketuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Agar sosialisasi dapat berlangsung  efektif dan efisien, maka pemilihan media dan target sasaran menjadi sangat penting. Disadari atau tidak perkembangan teknologi informasi dengan media sebagai piranti utama, berimplikasi pada tatanan kehidupan umat manusia dalam berbagai dimensinya, baik dalam dimensi politik, ekonomi, sosial budaya, maupun agama. Kondisi ini patut diwaspadai sehingga masyarakat tidak terjebak pada kemajuan teknologi informasi semata tanpa berupaya. Dengan demikian, unsur media (cetak, elektronik, tradisional) harus diposisikan sebagai mitra strategis dalam upaya pembinaan karakter bangsa utamanya dalam hal sosialisasi.
Di samping unsur media, hal lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah penentuan kelompok-kelompok sasaran sehingga dampak sosialisasi segera merambah pada setiap anak bangsa, terutama generasi muda. Pada dasarnya kelompok sasaran adalah seluruh warga negara Indonesia, yang lebih difokuskan pada generasi muda. Adapun sasaran adalah pemerintah, dunia usaha dan industri, satuan pendidikan, organisasi sosial kemasyarakatan/ profesi, organisasi sosial politik, dan media massa.
2.    Strategi Pembinaan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan
Pendidikan karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan peserta didik guna membangun karakter pribadi dan/atau kelompok yang unik-baik sebagai warga negara. Hal itu diharapkan  mampu memberikan kontribusi optimal dalam mewujudkan masyarakat yang berketuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Strategi pembinaan karakter bangsa melalui program pendidikan memerlukan dukungan penuh dari pemerintah yang dalam hal ini berada di jajaran Kementerian Pendidikan Nasional. Oleh karena itu, fasilitasi yang perlu didukung berupa hal-hal sebagai berikut:
a.Pengembangan kerangka dasar dan perangkat kurikulum, inovasi pembelajaran dan pembudayaan
karakter; standardisasi perangkat dan proses penilaian, kerangka dan standardisasi media pembelajaran yang dilakukan secara sinergis oleh pusat-pusat di lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Nasional.
b.  Pengembangan satuan pendidikan yang memiliki budaya kondusif bagi pembangunan karakter dalam berbagai modus dan konteks pendidikan usia dini, pendidikan dasar dan menengah, serta pendidikan tinggi  dilakukan secara sistemik oleh semua direktorat terkait di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional.
c.  Pengembangan kelembagaan dan program pendidikan nonformal dan informal dalam rangka pendidikan karakter  melalui berbagai modus dan konteks dilakukan secara sistemik oleh semua direktorat terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal.
d. Pengembangan dan penyegaran kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan, baik di jenjang pendidikan usia dini, dasar, menengah maupun pendidikan tinggi yang relevan dengan pendidikan karakter dalam berbagai modus dan konteks dilakukan secara sistemik oleh semua direktorat terkait.
e.  Pengembangan karakter peserta didik di perguruan tinggi  melalui penguatan standar isi dan proses, penelitian dan pengembangan pendidikan karakter, pembinaan lembaga pendidikan tenaga kependidikan, pengembangan dan penguatan jaringan informasi professional. Pembinaan karakter dilakukan secara sistemik oleh semua direktorat terkait.

3.  Strategi Pembinaan Karakter Bangsa melalui  Pemberdayaan
Pemberdayaan merupakan salah satu strategi pembinaan karakter bangsa yang diarahkan untuk memampukan para pemangku kepentingan dalam rangka menumbuhkembangkan partisipasi aktif mereka dalam pembangunan karakter.
Lingkungan keluarga merupakan wahana pendidikan karakter yang pertama dan utama. Oleh karena itu orang tua perlu ditingkatkan kemampuannya sehingga memiliki kemampuan untuk melakukan pembinaan dan pengembangan karakter. Pemberdayaan dilingkup keluarga dilakukan melalui:
(1) penetapan regulasi yang mendorong orang tua dapat berinteraksi dengan sekolah, dan lembaga pendidikan yang terkait pembangunan karakter
(2) pemberian pelatihan dan penyuluhan tentang pendidikan karakter (3) pemberian penghargaan kepada para tokoh-tokoh atau orang tua yang telah menunjukkan komitmennya dalam membangun karakter di lingkungan keluarga
(4) peningkatan komunikasi pihak sekolah dan lembaga  pendidikan terkait dengan orang tua.

4.    Strategi Pembinaan Karakter Bangsa melalui Pembudayaan
Strategi pembinaan karakter bangsa melalui pembudayaan dilakukan melalui keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dunia usaha, partai politik, dan media massa. Strategi pembudayaan menyangkut pelestarian, pembiasaan, dan pemantapan nilai-nilai baik guna meningkatkan martabat sebuah bangsa. Strategi tersebut dapat berwujud pemodelan, penghargaan, pengidolaan, fasilitasi, serta hadiah dan hukuman.
 Pemerintah harus menjadi teladan bagi pembudayaan karakter bangsa karena pemerintah harus dapat menjadi contoh warganya. Pemerintahan yang baik mencerminkan masyarakat yang baik. Masyarakat yang berkarakter mencerminkan warga negara yang berkarakter. Pemerintah dengan demikian harus selalu di garda depan dalam pembudayaan karakter dengan segala manifestasinya. Selain keteladan, pembudayaan dalam lingkup pemerintah dapat dilakukan dengan pembiasaan nilai-nilai di lingkungan pemerintah, peningkatan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta penegakan aturan.
5.    Strategi Pembinaan Karakter Bangsa Melalui Kerjasama
Pada dasarnya, kunci akhir sebuah strategi ada pada kerjasama dan koordinasi. Berbagai kerjasama dan kordinasi dapat dilakukan antarwarga negara, antarkelompok, antarlembaga, antardaerah, dan bahkan antarnegara.
Ada beberapa cara yang dapat menjadikan kerjasama dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang telah disepakati. Hal itu dapat dimulai  dengan saling terbuka, saling mengerti, dan saling menghargai. Setelah kerjasama dapat dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah koordinasi dan evaluasi. Bentuk koordinasi yang dapat dilakukan antara lain:
1.  koordinasi perencanaan kegiatan pendidikan karakter secara dinamis dari jenjang pendidikan
usia dini, dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi sesuai konteks kebutuhan dan perubahan
zaman;
2.  koordinasi kegiatan satuan pendidikan dengan lembaga pendidikan di alam terbuka, antara lain
gerakan Pramuka, dalam hal penerapan silabi pendidikan karakter;
3.  koordinasi secara teknikal dengan lembaga yang mengembangkan kompetensi teknologi
informasi dan komunikasi, multimedia  dalam pembuatan materi  interaktif pendidikan karakter;
4.  koordinasi dengan lembaga yang mengembangkan kompetensi bidang psikologi dan
komunikasi dalam perencanaan model proses pembelajaran pendidikan karakter sesuai  penciri
warga negara agar mampu mengadaptasikan dirinya dalam pluralitas karakter di lingkungan global.


BAB IV
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
  Negara Indonesia adalah negara yang solid terdiri dari berbagai suku dan bangsa, terdiri dari banyak pulau-pulau dan lautan yang luas. Jika kita sebagai warga negara ingin mempertahankan daerah kita dari ganguan bangsa/negara lain, maka kita harus memperkuat ketahanan nasional kita. Ketahanan nasional adalah cara paling ampuh, karena mencakup banyak landasan seperti : Pancasila sebagai landasan ideal, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dan Wawasan Nusantara sebagai landasan visional, jadi dengan demikian katahanan nasional kita sangat solid.
Mengingat penting dan luasnya cakupan pembinaan karakter bangsa dalam rangka ketahanan nasional, menjadikan masyarakat berketuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka diperlukan komitmen dan dukungan dari lembaga penyelenggara negara, dunia usaha dan industri, masyarakat, media massa dan pemangku kepentingan lainnya untuk menyusun  program kerja dan mengkoordinasikan dengan pihak terkait agar terjadi sinergi yang kokoh untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA
Amori,   A.  2007.  A Theoritical Framework for Educational Game Development.  Educational Technology Research & Development:  Game Object Model  Version II
Hasan,  H.S.  2010.  Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.  Jakarta:  Litbang Puskur Kemdiknas
Nunut. 2011. Pembentukan karakter bangsa dengan pancasila.  http://nunutwaone/2011/5/makalah-pembentukan-karakter-bangsa-pancasila.html.  16 mei 2011
Syahnakri.  2009.  Renungan Kebangsaan Dan Pancasila.
http://syahnakri.blogspot.com/2009/11/renungan-kebangsaan-dan-   pancasila.html.  31 Desember  
2009


Pemahaman Terhadap Konsepsi dan Peran Ketahanan Nasional dalam Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara

Pemahaman Terhadap Konsepsi dan Peran Ketahanan Nasional dalam Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara

Pengertian Ketahanan Nasional Indonesia

Ketahanan Nasional pastinya mempunyai rumusan dengan pengertian yang baku dalam upayanya menghadapi dinamika perkebangan dunia dan masa ke masa. Kepastian itu menjadi keharusan karena dipakai sebagai titik dasar atau titik tolak untuk gerak implementasi/penerapan di dalam hidup dan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.

Pengertian baku Ketahanan Nasional bangsa Indonsia adalah kondisi dinamis suatu bangsa berisi keuletan dan ketangguhan nasional di dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan dan ancaman, hambatan serta gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan nasional.

Oleh karena itu, Ketahanan Nasional adalah kondisi hidup dan kehidupan nasional yang harus senantiasa diwujudkan dan dibina secara terus-menerus serta sinergis. Hal demikian itu, dimulai dari lingkungan terkecil yaitu diri pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dengan modal dasar keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan kekuatan nasional. Proses berkelanjutan itu harus selalu didasari oleh pemikiran geopolitik dan geostrategi sebagai konsepsi yang dirancang dan dirumuskan dengan memperhatikan konstelasi yang ada di sekitar Indonesia.

Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia adalah konsepsi pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi, dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh, menyeluruh, dan terpadu yang berlandaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Wawasan Nusantara, Dengan kata lain, konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia merupakan pedoman (sarana) untuk meningkatkan (metode) keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan.

Kesejahteraan dapat digambarkan sebagai kemampuan bangsa dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai nasionalnya demi sebesar-besarnya kemakmuran yang adil dan meratam rohaniah dan jasmaniah. Sementara itu, keamanan adalah kemampuan bangsa dan negara untuk melindungi nilai-nilai nasionalnya terhadap ancaman dari luar maupun dari dalam.

Hakikat Ketahanan Nasional Indonesia adalah keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan ketahanan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasional.

Hakikat konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia adalah pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang, serasi, dan selaras dalam aspek hidup dan kehidupan nasional.

Konsep Ketahan Nasional (Tannas) adalah sebagai berikut:

Ketahanan menganut aliran pikiran Pancasila yaitu aliran pikiran integralistik dan komprehensif (kesisteman)
Hakikat Tannas adalah pengaturan dan penyelengaraan keamanan dan kesejahteraan dalam kehidupan nasional.
Ketahanan Nasional berlaku baik pada waktu damai maupun pada waktu perang.
Ketahanan memiliki wajah/dimensi: sebagai individu, sebagai doktrin, dan sebagai metode.
Konsep Ketahanan Nasional (Tannas) dikembangkan pada awal tahun 1960-an dan secara lebih intensif dikembangkan seiring dengan upaya bangsa melaksanakan program pembangunan nasional sejak awal orde baru..

Konsep Tannas ini merupakan rangkaian mengembangkan dan meningatkan upaya bangsa Indonesia untuk menjamin kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, menghadapi ancaman baik yang dilakukan oleh Belanda maupun ancaman-ancaman yang berwujud pemberontakan –pemberontakan serta gangguan ancaman lainnya.

Untuk menghadapi ancaman dari Belanda yang ingin menjajah kebali, dihadapi dengan konsep perang kemerdekaan (perang geriliya). Untuk menghadapi berbagai pemberontakan dan gangguan keamanan, dihadapi dengan konspe Pertahanan Keamanan (Hankam) oleh bangsa Indonesia. Setelah ada pembangunan nasional guna menghadapi tantangan ancaman hambatan dan gangguan yang sifatnya komplek pada segenap aspek kehidupan nasional baik yang darang dari dalam negeri maupun dari luar negeri, dikembangkan konsep ketahanan nasional.
Asas-Asas ketahanan Nasional dan sifat ketahanan Nasional

Asas-asas Ketahanan Nasional

Asas ketahanan nasional adalah tata laku yang didasari nilai-nilai yang tersusun berlandaskan Pancasil, UUD 1945 dan Wawasan Nusantara. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:

a) . Asas kesejahtraan dan keamanan Asas ini merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dan wajib dipenuhi bagi individu maupun masyarakat atau kelompok. Dengan demikian, kesejahteraan dan keamanan merupakan asa dalam sistem kehidupan nasional. Tanpa kesejateraaan dan keamanan, sesitem kehidupan nasional tidak akan dapat berlangsung. Kesejahteraan dan keamanan merupakan nilai intrinsik yang ada pada sistem kehidupan nasuional itu sendiri. Kesejahtrean maupun keamanan harus   selalu   ada,   berdampingan   pada   kondisi   apa   pun.Dalam kehidupan nasional, tingkat kesejahteraan dan keamanan nasional yang dicapai merupakan tolok ukur Ketahanan Nasional

b). Asas Mawas ke Dalam da Mawas ke LuarSistem kehidupan nasional merupakan perpaduan segenap aspek kehidupan bangsa yang saling berinteraksi. Di samping itu, sistem kehidupan nasional juga berinteraksi dengan linkungan sekelilingnya. Dalam proses interaksi tersebut dapat timbul berbagai dampak baik yang bersifat positif maupun negatif. Untuk itu diperlukan sikap mawas ke dalam maupun keluar.
Mawas ke dalam bertujuan menumbuhkan hakikat, sifat, dan kondisi kehidupan nasional itu sendiri berdasarkan nilai-nilai kemadirian yangproporsional untuk meningkatkan kualitas derajat kemandirian bangsa yang ulet dan tangguh. Mawas ke luar bertujuan untuk dapat mengantisipasi dan berperan serta mengatasi dampak lingkungan stategis luar negeri dan menerima kenyataan   adanya   interaksi   dan   ketergantungan   dengan   dunia internasional.

c). Asas kekeluargaan
Asas ini bersikap keadilan, kebersamaan, kesamaan, gotong royong, tenggang rasa dan tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal hidup dengan asas kekeluargaan ini diakui adanya perbedaan,   dan   kenyataan   real   ini   dikembangkan   secara   serasi   dalam kehidupan kemitraan dan dijaga dari konflik yang bersifat merusak/destruktif.

d). Asas Komprehensif Integral atau Menyeluruh Terpadu
Sistem kehidupan nasional mencakup segenap aspek kehidupan bangsa dalam bentuk perwujudan persatuan dan perpaduan yang seimbang, serasi dan selaras   pada   seluruh   aspek   kehidupan   bermasyarakat,   berbangsa   dan bernegara.   Ketahanan   Nasional   mencakup   ketahanan   segenap   aspek kehidupan  bangsa secara utuh, menyeluruh  dan terpadu (komprehensif intergral).

Sifat-sifat ketahanan Nasional antara lain:

• Mandiri, artinya ketahanan nasional bersifat percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri dengan keuletan dan ketangguhan yang mengandung prinsip tidak mudah menyerah serta bertumpu pada identitas, integritas, dan kepribadian bangsa.  Kemandirian ini merupakan prasyarat untuk menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dalam perkembangan global.


• Dinamis, artinya ketahanan nasional tidaklah tetap, melainkan dapat meningkat ataupun menurun bergantung pada situasi dan kondisi bangsa dan negara, serta kondisi lingkungan strategisnya. Hal ini sesuai dengan hakikat dan pengertian bahwa segala sesatu di dunia ini senantiasa berubah. Oleh sebab itu, uapaya peningkatan ketahanan nasional harus senantiasa diorientasikan ke masa depan dan dinamikanya di arahkan untuk pencapaian kondisi kehidupan nasional yang lebih baik.

• Manunggal, artinya ketahanan nasional memiliki sifat integratif yang diartikan terwujudnya kesatuan dan perpaduan yang seimbang, serasi, dan selaras di antara seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

• Wibawa, artinya ketahanan nasional sebagai hasil pandangan yang bersifat manunggal   dapat   mewujudkan   kewibawaan   nasional   yang   akan diperhitungkan oleh pihak lain sehingga dapat menjadi daya tangkal suatu negara. Semakin tinggi daya tangkal suatu negara, semakin besar pula kewibawaannya.

• Konsultasi dan kerjasama, artinya ketahanan nasional Indoneisa tidak mengutamakan sikap konfrontatif dan antagonis, tidak mengandalkan kekuasaan dan kekuatan fisik semata, tetapi lebih pada sifat konsultatif dan kerja sama serta saling menghargai dengan mengandalkan pada kekuatan moral dan kepribadian bangsa.



Daftar Pustaka :


Kamis, 13 Juni 2013

Pemahaman terhadapkonsepsi dan peran ketahanan Nasional dalam bermasyarakat ,berbangsa dan bernegara

LATAR BELAKANG KETAHANAN NASIONAL
Setelah merdeka, Indonesia tidak luput dari gejolak dan ancaman yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa. Tetapi bangsa Indonesia mampu mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya dari agresi Belanda dan mampu menegakkan wibawa pemerintahan Republik Indonesia pada saat itu juga.
Ditinjau dari geo-politik dan geo-strategi dengan posisi geografis, sumber daya alam dan jumlah serta kemampuan penduduk telah menjadikan Indonesia untuk ajang persaingan kepentingan dan perebutan pengaruh antar negara besar. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak negatif terhadap segenap aspek kehidupan sehingga dapat mempengaruhi dan membahayakan kelangsungan hidup dan eksitensi NKRI. Untuk itu bangsa Indonesia harus memiliki keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional sehingga berhasil mengatasi setiap bentuk tantangan ancaman hambatan dan gangguan dari manapun datangnya.
             Atas dasar itulah segenap warga Negara Indonesia bahu membahu, bergotong royong mengukuhkan ketahanan nasional baik dalam kehidupan sehari hari maupun di dalam jiwa masing masing untuk menghadapi segala macam hambatan, tantangan, serta ancaman yang menyangkut tentang keutuhan Republik Indonesia. Konsepsi ketahanan nasional Indonesia adalah  suatu usaha pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan menyeluruh berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.

Tujuan Nasional adalah sasaran segala kegiatan suatu bangsa yang perwujuannya harus diusahakan secara terus rnenerus. Tujuan nasional bangsa Indonesia tercantum dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahtetaan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.



Dan tujuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa politik mar negeri Indonesia bercorak:
Mempertahankan kemerdekaan dan menghapuskan segala bentuk penjajahan,
Memperjuangkan perdamaian dunia yang abadi, dan
Memperjuangkan susunan ekonomi dunia yang berkeadilan sosial.
Selain itu, politik luar negeri Indonesia harus bersifat bebas dan aktif. Bebas mengandung anti bahwa negara mempunyai hak yang penuh atau kemandirian untuk menentukan sikap dan kehendak sendiri sebagai bangsa yang bendaulat. Artinya, negara bebas menentukan sikap serta tidak memihak dalam menghadapi pertentangan antara dua blok raksasa di dunia, yaitu blok kapitalis (barat) dan blok komunis (timur). Aktif mengandung anti bahwa dalam pergaulan internasional negara tidak boleh tinggal diam, tetapi harus berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam lingkup internasional.

Dengan demikian, politik bebas dan aktif tidak sama dengan netral karena netral berarti tidak peduh dan cenderung tidak mendorong untuk mengambil sikap apapun atas kejadian-kejadian internasional. Melalui politik bebas dan aktif, Indonesia menempatkan dirinya sebagai subjek (pelaku) dan aktif dalam pergaulan internasional sehingga tidak dapat dikendalikan oleh haluan politik negara lain yang didasarkan pada kepentingan nasionalnya.

Oleh karena itu, dalam melaksanakan politik luar negeri, negara Republik Indonesia sedapat mungkin akan memilih jalan damai. Bagi bangsa Indonesia, perang merupakan jalan terakhir dalam mempertahankan kemerdekaan. Oleh karena itu, perang yang mungkin terpaksa dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah perang yang adil, bukan perang yang menguasai dan menjajah bangsa lain.

Dewasa ini, persoalan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, sedang mengalami ujian dan berada pada masa-masa sulit. Krisis hampir dalam segenap aspek kehidupan. Akar dari semua persoalan sesungguhnya telah terjadi krisis kepercayaan dan kepemimpinan yang secara simultan berakibat pada terjadinya krisis kebangsaan dan kenegaraan. Pasca reformasi 1998, nilai-nilai kebangsaan Pancasila, sebagai dasar negara, ideologi negara, falsafah hidup, way of life bangsa Indonesia, jatidiri bangsa disembunyikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan kata lain, aspek-aspek lokalitas mulai dijauhi bahkan mungkin ditinggalkan untuk selanjutnya beralih pada setiap entitas yang bernafaskan global agar tidak dicap ketinggalan jaman. Sehingga akibatnya, kebanggaan dan komitmen sebagai bangsa semakin luntur.

Di sisi lain, ada kecenderungan untuk membangkitkan superioritas etnis. Klaim-klaim etnisitas dan paham sektarianisme mulai menyeruak muncul dan menenggelamkan identitas kebangsaan kita yang menempatkan pluralitas dan heterogenitas sebagai sebuah modal sosial. Persoalan disintegrasi bangsa akan semakin meruncing ketika terjadi krisis ideologi. Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa pun nampaknya mulai tercerabut dari sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Absennya Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pertama dan terutama selama 11 tahun terakhir ini (sejak reformasi bergulir), tampaknya telah melululantahkan keputusan besar menyangkut ideologi negara yang dilahirkan Founding Fathers Negara bangsa ini. Pancasila sebagai ideologi negara disadari atau tidak, termarjinalisasikan di tengah-tengah ideologi dunia seperti kapitalisme liberalisme atau ideologi global. Arus globalisasi tampak diyakini telah memberi andil besar menenggelamkan Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, pandangan hidup, dan falsafah bangsa, yang penuh mengandung nilai-nilai kebangsaan.

Filsafat bangsa, yang sangat mungkin menjadi modal keunggulan bangsa, justru semakin ditinggalkan, atau dalam bahasa lain, ada semacam keengganan merujuk Pancasila sebagai arah yang dapat menuntun negara bangsa ini merealisasikan tujuan bernegara, yaitu memajukan kesejahteraan umum. Sehingga disadari atau tidak, masyarakat mulai kehilangan identitas nasional. Dan yang kemudian terjadi adalah kebingungan masyarakat untuk menentukan pilihan gaya dan cara hidup. Padahal, bagaimanapun setiap bangsa dan negara mempunyai ukuran-ukurannya tersendiri yang menjadikan pedoman pelaksanaan langkah-langkah pembangunannya. Ukuran-ukuran tersebut sudah barang tentu pertama-tama merujuk kepada ideologi suatu negara tersebut sebagai cita-cita berbangsa dan bernegara.

Sehingga, logis dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia semakin terpuruk. Untuk dapat keluar dari krisis multidimensi yang berkepanjangan, menemukan solusi yang memadai dan kompatibel terhadap problem kebangsaan, diperlukan langkah dan terobosan strategis yang bersifat lintas agama, ras, kelompok dan golongan; dengan mengutamakan spirit nasionalisme.

Di tengah peristiwa yang sedang menghantui pergulatan kehidupan kita sebagai bangsa dan negara, yaitu dideranya oleh berbagai persoalan, bahkan situasi dan kondisi dunia dengan berbagai ancaman krisis energi, krisis pangan, bencana alam, pemanasan global, dan kerusakan lingkungan hidup yang membahayakan kelangsungan hidup manusia, serta krisis ekonomi global, telah tampak pada pergaulan dan pergumulan kehidupan kita.

Pada titik simpul persoalan-persoalan tersebut di atas, sangat krusial, menyoal relevansi filsafat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apa konseptualisasi filsafat? Apa kehidupan berbangsa dan bernegara? Bagamana ujud relevansi antara filsafat dengan kehidupan berbangsa dan bernegara? Tulisan ini memncoba akan membicarakan seputar itu, oleh karena menyangkut persoalan paradigmatik yang mendasar dalam melihat proses berbangsa dan bernegara.

Konseptualisasi Filsafat
Filsafat itu sendiri telah muncul sejak ribuan tahun yang lalu di mana akal manusia masih dihadapkan pada ruang dinamika pemikiran yang sederhana dan permasalahan yang tidak begitu kompleks seperti saat ini. Filsafat, sering disebut sebagai ratunya ilmu-ilmu. Sejak awal perkembangannya hingga sekarang tak pernah lepas dari konteks kultural masyarakat dimana ia berada dan berkembang.

Di masa Yunani kuno, disebut sebagai langkah awal pembebasan akal manusia dari budaya mitis yang membelenggu potensi-potensi rasional manusia. Berkembangnya kesadaran baru bahwasanya akal manusia memiliki kekuatan yang luar biasa tajam untuk membedah segala persoalan. ”Kritis! Itu adalah kata kunci yang dipegang semua filosof sepanjang zaman”, jelas Donny Gahral Adian (2002: 1).

Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Menurut Jujun S. Suriasumantri (2001: 19) “Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semaunya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.”

Filsafat berasal dari bahasa Yunani “Philosopia”. Philein artinya “cinta” dan “sophia” artinya “kebijaksanaan”. Jadi, secara harifiah filsafat berarti mencintai kebijaksanaan. Dalam perkembangannya, filsafat memiliki brbagai macam pengertian, antara lain:
1.       cinta kebijaksanaan.
2.       Ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran dan kenyataan.
3.       Hasil pikiran yang kritis dan dikemukakan dengan cara yang sistematis.
4.       Hasil pikiran manusia yang paling dalam.
5.       Pendalaman lebih lanjut dari ilmu pengetahuan.
6.       Pandangan hidup.
7.       Hasil analisa dari abstraksi.
8.       Anggapan dasar.
9.        Bersifat Kritis – Rasional, Kritis –Reflektif, Radikal, Tidak Fragmentaris, Universal.
10.    Kritis, analitis, evaluatif dan abstraksif.

Filsafat merupakan suatu reflektisi yang merupakan kegiatan akal budi, perenungan….. yang direfleksikan filsafat adalah apa saja yang tidak terbatas pada bidang/tema terentu. (Achmad Charris Zubair; 1987: 7-8). Donny Gahral Adian (2002: 3) mendefinisikan filsafat sebagai “upaya mencari atau memperoleh jawaban atas berbagai pertanyaan lewat penalaran sistematis yang kritis, radikal, reflektif, dan integral.”

Dengan demikian, sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa berfilsafat sesungguhnya dimulai dari rasa ingin tahu, dan kepastian dimulai dari ragu-ragu. Oleh karena itu karakteristik berfikir filsafat, seperti dijelaskan Donny Gahral Adian (2002:3) “Filsafat membedakan dirinya baik dari ilmu pengetahuan lewat pendekatannya yang integral dalam arti filsafat tidak mengkaji semesta dari satu sisi saja namun secara menyeluruh. Filsafat bersifat kritis dalam mengkaji objeknya, ia tidak pernah berhenti pada penampakkan, asumsi, dogmatisme melainkan terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan demi mencapai hakikat. Radikal berasal dari akar kata “radix” yang berarti akar. Filsafat selalu menggunakan daya kritisnya untuk mengkaji suatu objek sampai ke akar-akarnya. Selain kritis-radikal, filsafat bersifat reflektif dalam memahami objeknya, ia selalu berusaha mengendapkan apa yang ia tangkap (gejala-gejala) untuk diolah dan pada akhirnya menghasilkan pengetahuan yang jernih.”

Seiring dengan pendapat di atas, Jujun S. Suriasumantri (2001: 20) menjelaskan karakteristik berfikir filsafat, adalah sebagai berikut:
a. Sifat menyeluruh.
Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. dia ingin tahu apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya. (Pendek kata, seorang ilmuwan tidak picik dalam memandang keilmuan; — penjelasan penulis). Dan kita pun lalu menyadari kebodohan kita sendiri. Yang saya tahu, simpul Sokrates, ialah bahwa saya tak tahu apa-apa!.
b. Sifat mendasar.
Seorang yang berfikir filsafat selain menengadah ke bintang-bintang, juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Jadi karakteristik berfikir filsafati adalah mendasar, fundamental atau radikal (sampai ke akar-akarnya). Dia tidak percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriterias tsb dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus mulai dari satu titik, yang awal dan pun sekaligus awal. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar?
c. Sifat spekulatif.
Ragukan bahwa langit dan bumi itu berlapis-lapis. Bahwa kita pun tidak yakin kepada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Dalam hal ini kita hanya berspekulasi sebagai ciri filsafat yang ketiga.
Kita mulai mengernyitkan kening dan timbul kecurigaan terhadap filsafat: bukankah spekulasi ini suatu dasar yang tidak bisa diadakan? Dan seorang filsuf akan menjawab: memang namun hal ini tidak bisa dihindarkan. Menyusur sebuah lingkaran kita harus mulai dari sebuah titik bagaimanapun juga spekulatifnya. Yang penting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis maupun pembuktiannya, kita bisa memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak. Dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan.

Philosopia atau filsafat berarti cinta pada kebijaksanaan. Cinta artinya hasrat yang kuat atau yang bersungguh-sungguh, sedangkan kebijaksanaan dapat diartikan sebagai kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Oleh karena itu fungsi filsafat adalah:
a. mengajukan pertanyaan yang tidak diajukan dalam ilmu empirik.
b. Mengadakan revolusi di dalam persepsi.
c. Mencegah pemikiran rutin dan mengembalikannya kepada pemikiran reflektif
d. Mencegah pemikiran mekanistik dan mengembalikannya ke pemikiran aktif dan kreatif. (Rangkuman diskusi penelitian filsafat Yayasan Filsafat Indonesia, Jakarta 15 – 2 – 1985).
e. Berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah kita ketahui … Mengetahui kekurangan bukan berarti merendahkanmu, namun secara sadar memanfaatkan, untuk terlebih jujur dalam mencintaimu. (Jujun; 2001: 20).

Hal ini berarti orang yang berfilsafat adalah orang yang memiliki keinginan untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat akan dijadikan pegangan atau pedoman untuk mencari kebenaran. Dengan kata lain, filsafat adalah pandangan hidup dan landasan pemikiran yang bersumber pada kebijakan moral yang digunakan untuk mengetahui, mempelajari, dan menganalisis sesuatu fenomena alam maupun sosial untuk memperoleh jawaban yang benar atas fenomena tersebut untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Berbangsa dan Bernegara
Proses bangsa yang menegara memberikan gambaran tentang bagaimana terbentuknya bangsa, di mana sekelompok manusia yang berada di dalamnya merasa sebagai bagian dari bangsa. Negara merupakan organisasi yang mewadahi bangsa. Bangsa tersebut merasakan pentingnya keberadaan Negara, sehingga tumbuhlah kesadaran untuk mempertahankan tetap tegak dan utuhnya Negara melalui upaya bela Negara. Upaya ini dapat terlaksana dengan baik apabila tercipta pola pikir, sikap dan tindak/perilaku bangsa yang berbudaya yang memotivasi keinginan untuk membela Negara: bangsa yang berbudaya, artinya bangsa yang mau melaksanakan hubungan dengan penciptanya/”Tuhan” disebut Agama; bangsa yang mau berusaha, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disebut Ekonomi; bangsa yang mau berhubungan dengan lingkungan, sesama, dan alam sekitarnya disebut Sosial; bangsa yang mau hidup aman tentram dan sejahtera dalam Negara disebut Pertahanan dan Keamanan.

Pada zaman modern adanya Negara lazimnya dibenarkan oleh anggapan atau pandangan kemanusiaan. Demikian pula halnya dengan bangsa Indonesia. Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945 merumuskan bahwa adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa sehingga penjajahan yang bertentangan dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan harus di hapuskan. Apabila “dalil” ini kita analisis secara teoritis, hidup berkelompok baik masyarakat, berbangsa maupun bernegara seharusnya tidak mencerminkan eksploitasi sesama manusia (penjajahan) melainkan harus berperikemanusiaan dan berperikeadilan. Inilah teori pembenaran paling mendasar dari bangsa Indonesia tentang bernegara. Hal yang kedua yang memerlukan suatu analisis ialah bahwa kemerdekaan merupakan hak segala bangsa. Tetapi dalam penerapannya sering timbul pelbagai ragam konsep bernegara yang saling bertentangan. Perbedaan konsep tentang Negara yang dilandasi oleh pemikiran ideologis adalah penyebab utamanya. Karena itu, kita perlu memahami filosofi ketatanegaraan tentang makna kebebasan atau kemerdekaan suatu bangsa dalam kaitannya dengan ideologinya. Namun di zaman modern, teori yang universal ini tidak diikuti orang. Kita mengenal banyak bangsa yang menuntut bangsa yang sama. Orang kemudian beranggapan bahwa untuk memperoleh pengakuan dari bangsa lain, suatu Negara memerlukan mekanisme yang lazim disebut proklamasi kemerdekaan.

Pertama, terjadinya Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu proses yang tidak sekadar dimulai dari proklamasi. Perjuangan kemerdekaan pun mempunyai peran khusus dalam pembentukan ide-ide dasar yang dicita-citakan.

Kedua, Proklamasi baru “mengantar bangsa Indonesia” sampai ke pintu gerbang kemerdekaan. Adanya proklamasi tidak berarti bahwa kita telah “selesai”bernegara.

Ketiga, Keadaan bernegara yang kita cita-citakan belum tercapai hanya dengan adanya pemerintahan, wilayah, dan bangsa, melainkan harus kita isi untuk menuju keadaan merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur.

Keempat, terjadinya Negara adalah kehendak seluruh bangsa, bukan sekadar keinginan golongan yang kaya dan yang pandai atau golongan ekonomi lemah yang menentang golongan ekonomi kuat seperti dalam teori kelas.

Kelima, Religiositas yang tampak pada terjadinya Negara menunjukkan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Unsur kelima inilah yang kemudian diterjemahkan menjadi pokok-pokok pikiran keempat yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu bahwa Indonesia bernegara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang (pelaksanaannya) didasarkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab.

Negara kebangsaan yang berbentuk kepulauan Indonesia terbentuk dengan karakteristik unik dan spesifik. Berbeda dengan Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Yunani serta Negara-negara Eropa Barat lainnya, yang menjadi suatu negara bangsa (nation state) karena kesamaan bahasa. Atau Australia, dan juga negara-negara Asia Selatan lainnya, yang menjadi satu bangsa karena kesamaan wilayah daratan. Latar belakang historis dan kondisi sosiologis, antropologis dan geografis Indonesia yang unik dan spesifik seperti, bahasa, etnik, atau suku bangsa, ras dan kepulauan menjadi komponen pembentuk bangsa yang paling fundamental dan sangat berpengaruh terhadap realitas kebangsaan Indonesia saat ini.

Negara kebangsaan kita juga terbentuk atas prakarsa dan usaha yang “berdarah-darah” dari founding fathers dan seluruh pejuang Indonesia, yang tanpa kenal lelah keluar masuk penjara dan dibuang ke tempat pengasingan, serta gugur sebagai pahlawan bangsa, oleh pemerintah kolonial atau penjajah guna memantapkan rasa dan semangat kebangsaan Indonesia yang resminya lahir pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 — sebelumnya diawali dengan terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 yang menandai Kebangkitan Nasional Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia lahir melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan UUD 1945 yang ditetapkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945, yang pada bagian pembukaannya memuat Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila merupakan sublimasi dan kristalisasi dari pandangan hidup (way of life) dan nilai-nilai budaya luhur bangsa yang mempersatukan bangsa kita yang beraneka ragam suku atau etnik, ras, bahasa, agama, pulau, menjadi bangsa yang satu, Indonesia.

Keterkaitan nilai-nilai Pancasila itulah, maka Pancasila sebagai sebuah momen bangsa, bahkan jelas Kuntowijoyo (1994) ”sebagai puncak pemikiran tentang hati nurani yang terdalam, dan sekaligus suatu dokumen hidup yang secara terus menerus dapat dipakai sebagai referensi.”

Filsafat dan Problem Berbangsa dan Bernegara
Reformasi telah berlangsung sekitar 11 tahun. Perjalanan kehidupan negara dan bangsa masih saja jauh dari harapan. Dengan perkataan lain, perjalanan kehidupan negara bangsa ini, apakah telah tumbuh sebagaimana yang diharapkan para pendiri bangsa (founding fathers)? Apakah kita sebagai bangsa Indonesia mempunyai ukuran-ukuran implementatif untuk merajut hidup dan kehidupan yang beradab yang dioperasionalisasikan dari nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara ini?

Memang, bila menengok ke belakang, nilai-nilai Pancasila dalam pelaksanaannya berulang kali diselewengkan oleh rezim, karena proses politik yang kerapkali memanipulasi Pancasila hanya demi kekuasaan semata. Nilai-nilai Pancasila yang sesungguhnya hampir tidak bisa dielakkan oleh siapapun, karena mengandung nilai-nilai kemanusiaan dalam tataran implementasinya justru sebaliknya. Dengan perkataan lain, makna tentang Pansasila untuk mengguide (membimbing) dan membantu kita dalam pemahaman bernegara dan berbangsa, acapkali direduksi oleh wilayah kepentingan tertentu. Dengan perkataan lain, Pancasila yang mengandung nilai-nilai dasar yang relevan dengan proses dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis, justru ditinggalkan.

Dalam konteks inilah atau untuk menciptakan SDM yang berkualitas dan handal maka salah satu yang diperlukan, yaitu suatu sistem dan produk pendidikan yang tidak saja berfungsi sebagai mekanisme kelembagaan pokok untuk mengembangkan keahlian dan pengetahuan, namun juga mengupayakan terciptanya sumber daya manusia (SDM) yang mampu berpikir kritis, komprehensif dan integral dengan dilandasi oleh kepribadian yang mantap dalam menjunjung tinggi moralitas dan kearifan lokal yang ada, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan negara bangsa.

Artinya, bahwa setiap negara dan bangsa di manapun tentu memiliki filsafat hidupnya. Pancasila sebagai falsafah negara bangsa ini, dan ideologi merupakan suatu sistem nilai yang memberikan motivasi, tekad dan berjuang. Ideologi sesungguhnya merupakan kebulatan ajaran tentang kehidupan yang dicita-citakan (pandangan hidup) kenegaraan dan kemasyarakatan. Atau ideologi sebagai suatu gagasan yang berdasarkan suatu idea tertentu, yang menjadi pedoman perjuangan untuk mewujudkan idea tersebut. Bagi bangsa dan negara Indonesia yang dimaksud ideologi adalah Pancasila sebagai pandangan hidup, jiwa dan kepribadian, dasar negara Indonesia. Pancasila menjadi pegangan dan pedoman bagaimana bangsa Indonesia memecahkan masalah-masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya yang timbul dalam gerak masyarakat yang semakin majemuk.

Dengan demikian, ideologi memberikan dasar etika pelaksanaan kekuasaan politik, dapat mempersatukan rakyat suatu negara. Ideologi memungkinkan adanya komunikasi simbolis antara pemimpin dengan yang dipimpin untuk berjuang bahu membahu demi prinsip kepentingan bersama. Ideologi juga memberikan pedoman untuk memilih kebijakan.

Para pendiri bangsa yang diwujudkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ideologi Pancasila bersumber pada cara pandang integralistik yang mengutamakan gagasan tentang negara yang bersifat persatuan. Ideologi Pancasila sebagai suatu kesatuan tata nilai tentang gagasan-gagasan yang mendasar, yang didasarkan pada pandangan hidup bangsa, yang merupakan jawaban terhadap diperlukannya falsafah dasar negara Republik Indonesia.

Dalam kaitannya Pancasila sebagai falsafah bernegara dan berbangsa, telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 sebagai berikut: ”… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemanusiaan yang adil beradab. Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Maksudnya, bahwa Pancasila mampu mempersatukan seluruh rakyat Indonesia yang plural dengan persamaan dalam perbedaan, menjadi sumber dari segala sumber hukum dalam tatanan bernegara, tatanan dinamika gerak kenegaraan atau pemerintahan, tatanan hidup kehidupan beragama, tatanan hukum, tatanan pekerjaan yang layak dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tatanan kesejahteraan sosial atau perekonomian, tatanan pertahanan keamanan, tatanan pendidikan dan sebagainya, yang secara instruksionalnya tergambarkan dalam pasal-pasal konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang mengikat dalam penyelenggaraan bernegara.

Pancasila sebagai ideologi, sesungguhnya mengandung dimensi ideologi murni dan praktis. Kuntowijoyo (1994) menjelaskan bahwa: Ideologi murni lahir dari khazanah sejarah masa lampau, sedangkan ideologi praktis dapat diamati sepanjang perjalanan sejarahnya. Kalau latar belakang budaya dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia telah menjadi dasar penyusunan sila-sila Pancasila, maka pengalaman sejarah dalam Revolusi Kemerdekaan, periode percobaan dengan demokrasi liberal, periode demokrasi terpimpin, dan periode pembangunan sekarang ini ( Orde Baru – penjelasan penulis) menjadi dasar bagi penyusunan ideologi praktis itu. Sebuah ideologi mengandung kedua unsur, murni dan praktis, yang masing-masing akan saling menunjuk. Jika ideologi murni itu kurang lebih permanen, maka ideologi praktis dapat saja berubah.

Bahkan lanjut Kuntowijoyo, selain itu, sebuah ideologi mempunyai unsur yang penting yaitu idealisme. Maka ketika kita berbicara Ideologi Pancasila sebagai hasil dari sebuah proses, sejarah merupakan satu-satunya pembenar terhadap ideologi. Ideologi juga dimaksudkan untuk mengubah sejarah, dalam arti bahwa ia mempunyai rujukan dalam aktualisasi, tetapi tidak semata-mata menyerah kepada perintah-perintah sejarah yang dipaksakan…… hubungan antara ideologi murni dengan realitas sejarah diwujudkan dalam ideologi praktisnya, yaitu bagaimana seharusnya realitas itu ditafsirkan dan diberikan jalan ke pemecahan persoalan-persoalannya. Pendekatan sebuah ideologi seperti Ideologi Pancasila bukanlah semata-mata sebuah praxis, tetapi juga sebuah nilai, cita-cita, harapan, bahkan sebuah impian yang ingin diwujudkan.

Dengan demikian, gagasan-gagasan dasar yang dikemukakan oleh ideologi Pancasila sebagai falsafah negara, sesungguhnya dapat ditelusuri di dalam Undang-Undang Dasar 1945, karena secara konstitusional itu telah menjadi pijakan bernegara dan berbangsa. Sebagaimana dijelaskan oleh PadmoWahjono (1993: 235) yaitu sebagai berikut:
• Mengenai bermasyarakat, yang kita jumpai nilai-nilai dasarnya di alinea I Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
• Mengenai bernegara, yang kita jumpai pada alinea II Pembukaan;
• Mengenai terjadinya negara, yang kita jumpai pengertiannya di dalam alinea III Pembukaan;
• Mengenai tujuan bernegara, pengertian kerakyatan atau demokrasi, dan kedaulatan rakyat atau kekuasaan tertinggi di dalam negara yang berada pada rakyat, kesemuanya dirumuskan di dalam alinea IV Pembukaan.
Jadi, setiap negara lahir dan berdiri, sesungguhnya karena didasari oleh suatu cita-cita dan tujuan yang ingin diraihnya dalam penyelenggaraan bernegara bagi kehidupan masyarakatnya. Cita-cita yang ingin diraih itu, diwujudkannya dalam ideologi negara tersebut sebagai pijakan arah perjuangannya. Tanpa memiliki cita-cita dan tujuan, tampak akan kehilangan arah dalam merealisasikannya. Itu sebabnya, setiap pemahaman atau konsep tentang negara bergantung pada pemahaman atau konsep yang tepat tentang tujuan-tujuan Negara. Persoalannya apa tujuan-tujuan lembaga yang disebut Negara? Jellinek membagi dua tujuan Negara, yaitu yang objektif dan subjektif. Objektif dibagi dalam objektif universal/umum dan objektif partikuler/khusus.

Tentang tujuan Negara yang objektif universal, jauh hari sudah dibicarakan sejak Plato. Aliran ini mendeskripsikan tujuan Negara adalah dirinya sendiri, Negara sendiri merupakan tujuan, karena Negara sebagai organisme. Tujuan Negara yang objektif partikuler, dipilih dan ditetapkan oleh Negara masing-masing berdasarkan perkembangan sejarahnya sendiri. Adapun tujuan Negara yang subyektif bahwa tujuan-tujuan Negara beraneka ragam berdasarkan pandangan masing-masing negara hingga kepada aspek-aspek dan sifat-sifat tujuan itu sendiri secara khusus individual.

Bagaimana tujuan Negara Indonesia sendiri? Tujuan Negara RI dapat disimak pada Pembukaan UUD 1945:
a. Alenia kedua, …Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
b. Untuk mencapai tujuannya itu, maka dibentuklah suatu Pemerintahan Negara yang mempunyai fungsi seperti nampak pada tujuan (menurut Jellinek adalah alat yang saling bertukaran dengan tujuan), yaitu:
• Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
• Memajukan kesejahteraan umum;
• Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
• Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Tujuan Negara RI mempunyai tujuan bersifat objektif particular, namun dalam menyimak fungsi pemerintahan Negara RI, mempunyai tujuan universal. seperti ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Peran dan fungsi ideologi Pancasila terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia hendaknya dilihat Pancasila sebagai dasar/ideologi negara yang telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 dan jabarannya dalam pasal-pasal (termasuk yang telah diamandemen). Ketentuan-ketentuan dalam konstitusi (UUD 1945) merupakan kebijakan umum nasional yang telah ditetapkan wakil-wakil rakyat di dalam sidangnya, dan kebijakan yang bersifat umum tersebut diperinci dalam bentuk perundang-undangan yang dibuat pemerintah bersama-sama dengan DPR. Penentuan kebijakan umum Negara tersebut, berikutnya fase implementasi kebijakan tersebut.

Nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah dan ideologi nasional Negara Republik Indonesia, niscaya dapat terinternalisasi di dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, melalui sosialisasi nilai-nilai Pancasila tersebut yang tidak bersifat indoktrinasi, sehingga dapat membudaya di kalangan masyarakat. Bila itu dirumuskan dalam konseptualisasi kebijakan bernegara dan berbangsa, maka nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi nasional dapat berkembang dan bertahan terhadap gempuran ideologi-ideologi lain. Ini berarti, penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia, dapat merumuskan dan mengambil langkah-langkah yang tepat dalam setiap kebijakan-kebijakannya. Namun dapat pula terjadi sebaliknya, bila memang nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi nasional, hanya dijadikan sebagai alat politik kekuasaan pemegang kekuasaan, tentu saja ideologi Pancasila semakin terpinggirkan di bumi nusantara ini, dan terdesak, bahkan luntur oleh ideologi lain.

Kesimpulan
Dari pembahasan-pembahasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
1. Nilai-nilai Pancasila secara objektif dan subjektif senantiasa terus dikembangkan, karena Pancasila sebagai falsafah dan ideologi harus tetap memberikan arah kehidupan berangsa dan bernegara seiring dengan perkembangan dinamika perubahan dunia dan harus terus menjadi ukuran implementasi dalam bernegara dan berbangsa.
2. Negara kebangsaan Indonesia terbentuk oleh kesamaan sejarah masa lalu, maka ke depan perlu dimantapkan lagi dengan adanya kesamaan cita-cita, pandangan, harapan, dan tujuan tentang masa depannya. Oleh karena itu, sebuah negara bangsa membutuhkan landasan filosofis, tanpa itu, berarti negara bangsa hidup tanpa pedoman.
3. Agar Pancasila sebagai falsafah dan ideologi hidup bangsa tetap mempunyai semangat untuk diperjuangkan dan dipertahankan oleh rakyat Indonesia, maka harus terus menggali dan mengkontekstualisasikan nilai-nilai luhur Pancasila dengan konteks zaman kekinian. Oleh karena itu, Pancasila perlu disosialisasikan agar dipahami oleh dunia sebagai landasan filosofis bangsa Indonesia dalam mempertahankan eksistensi dan mengembangkan dirinya menjadi bangsa yang sejahtera, berkeadilan, serta demokratis.
4. Terakhir, harus menjadi tugas bersama untuk mengartikulasikan keinginan rakyat untuk maju melalui upaya kontekstualisasi dan implementasi Pancasila dari berbagai aras kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Pancasila harus selalu terbuka dan membuka dirinya untuk diinterpretasi tentunya dalam koridor keilmuan yang kritis dan ilmiah.  


DAFTAR PUSTAKA :
Adian, Donny Gahral, 2002, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, Teraju Khazanah Pustaka      Keilmuan, Jakarta.
Kuntowijoyo, 1994, Demokrasi & Budaya Birokrasi, Bentang Budaya, Yogyakarta
Rodee, Carlton Clymer, 1993, Pengantar Ilmu Politik, Rajawali Pers, Jakarta
Sukarna, 1981, Ideologi Suatu Studi Ilmu Politik, Alumni, Bandung.
Sumarsono, S. Drs. Dkk. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Suseno, Franz Magnis, 1994, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Suriasumantri, Jujun S., 2001, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
UUD 1945 Amandemen Keempat.
Zubair, Achmad Charis, 1987, Kuliah Etika, Rajawali Pers, Jakarta
http://www.Indonesiastrategi.com tanggal akses 15 Juni 2009.