LATAR BELAKANG KETAHANAN
NASIONAL
Setelah merdeka, Indonesia tidak
luput dari gejolak dan ancaman yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa.
Tetapi bangsa Indonesia mampu mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya dari
agresi Belanda dan mampu menegakkan wibawa pemerintahan Republik Indonesia pada
saat itu juga.
Ditinjau dari geo-politik dan
geo-strategi dengan posisi geografis, sumber daya alam dan jumlah serta
kemampuan penduduk telah menjadikan Indonesia untuk ajang persaingan
kepentingan dan perebutan pengaruh antar negara besar. Hal ini secara langsung
maupun tidak langsung memberikan dampak negatif terhadap segenap aspek
kehidupan sehingga dapat mempengaruhi dan membahayakan kelangsungan hidup dan
eksitensi NKRI. Untuk itu bangsa Indonesia harus memiliki keuletan dan
ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional sehingga
berhasil mengatasi setiap bentuk tantangan ancaman hambatan dan gangguan dari
manapun datangnya.
Atas
dasar itulah segenap warga Negara Indonesia bahu membahu, bergotong royong
mengukuhkan ketahanan nasional baik dalam kehidupan sehari hari maupun di dalam
jiwa masing masing untuk menghadapi segala macam hambatan, tantangan, serta
ancaman yang menyangkut tentang keutuhan Republik Indonesia. Konsepsi ketahanan
nasional Indonesia adalah suatu usaha
pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan
kesejahteraan dan keamanan yang seimbang dalam seluruh aspek kehidupan secara
utuh dan menyeluruh berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
Tujuan Nasional adalah sasaran
segala kegiatan suatu bangsa yang perwujuannya harus diusahakan secara terus
rnenerus. Tujuan nasional bangsa Indonesia tercantum dalam alenia keempat
Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahtetaan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.
Dan tujuan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa politik mar negeri Indonesia bercorak:
Mempertahankan kemerdekaan dan
menghapuskan segala bentuk penjajahan,
Memperjuangkan perdamaian dunia
yang abadi, dan
Memperjuangkan susunan ekonomi
dunia yang berkeadilan sosial.
Selain itu, politik luar negeri
Indonesia harus bersifat bebas dan aktif. Bebas mengandung anti bahwa negara
mempunyai hak yang penuh atau kemandirian untuk menentukan sikap dan kehendak
sendiri sebagai bangsa yang bendaulat. Artinya, negara bebas menentukan sikap
serta tidak memihak dalam menghadapi pertentangan antara dua blok raksasa di
dunia, yaitu blok kapitalis (barat) dan blok komunis (timur). Aktif mengandung
anti bahwa dalam pergaulan internasional negara tidak boleh tinggal diam,
tetapi harus berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial dalam lingkup internasional.
Dengan demikian, politik bebas
dan aktif tidak sama dengan netral karena netral berarti tidak peduh dan
cenderung tidak mendorong untuk mengambil sikap apapun atas kejadian-kejadian
internasional. Melalui politik bebas dan aktif, Indonesia menempatkan dirinya
sebagai subjek (pelaku) dan aktif dalam pergaulan internasional sehingga tidak
dapat dikendalikan oleh haluan politik negara lain yang didasarkan pada
kepentingan nasionalnya.
Oleh karena itu, dalam
melaksanakan politik luar negeri, negara Republik Indonesia sedapat mungkin
akan memilih jalan damai. Bagi bangsa Indonesia, perang merupakan jalan
terakhir dalam mempertahankan kemerdekaan. Oleh karena itu, perang yang mungkin
terpaksa dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah perang yang adil, bukan perang
yang menguasai dan menjajah bangsa lain.
Dewasa ini, persoalan kebangsaan
dan kenegaraan Indonesia, sedang mengalami ujian dan berada pada masa-masa
sulit. Krisis hampir dalam segenap aspek kehidupan. Akar dari semua persoalan
sesungguhnya telah terjadi krisis kepercayaan dan kepemimpinan yang secara
simultan berakibat pada terjadinya krisis kebangsaan dan kenegaraan. Pasca
reformasi 1998, nilai-nilai kebangsaan Pancasila, sebagai dasar negara,
ideologi negara, falsafah hidup, way of life bangsa Indonesia, jatidiri bangsa
disembunyikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan kata lain, aspek-aspek
lokalitas mulai dijauhi bahkan mungkin ditinggalkan untuk selanjutnya beralih
pada setiap entitas yang bernafaskan global agar tidak dicap ketinggalan jaman.
Sehingga akibatnya, kebanggaan dan komitmen sebagai bangsa semakin luntur.
Di sisi lain, ada kecenderungan
untuk membangkitkan superioritas etnis. Klaim-klaim etnisitas dan paham
sektarianisme mulai menyeruak muncul dan menenggelamkan identitas kebangsaan
kita yang menempatkan pluralitas dan heterogenitas sebagai sebuah modal sosial.
Persoalan disintegrasi bangsa akan semakin meruncing ketika terjadi krisis
ideologi. Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa pun nampaknya
mulai tercerabut dari sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Absennya Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, pertama dan terutama selama 11 tahun
terakhir ini (sejak reformasi bergulir), tampaknya telah melululantahkan
keputusan besar menyangkut ideologi negara yang dilahirkan Founding Fathers
Negara bangsa ini. Pancasila sebagai ideologi negara disadari atau tidak,
termarjinalisasikan di tengah-tengah ideologi dunia seperti kapitalisme
liberalisme atau ideologi global. Arus globalisasi tampak diyakini telah
memberi andil besar menenggelamkan Pancasila sebagai dasar negara, ideologi,
pandangan hidup, dan falsafah bangsa, yang penuh mengandung nilai-nilai
kebangsaan.
Filsafat bangsa, yang sangat
mungkin menjadi modal keunggulan bangsa, justru semakin ditinggalkan, atau
dalam bahasa lain, ada semacam keengganan merujuk Pancasila sebagai arah yang
dapat menuntun negara bangsa ini merealisasikan tujuan bernegara, yaitu
memajukan kesejahteraan umum. Sehingga disadari atau tidak, masyarakat mulai
kehilangan identitas nasional. Dan yang kemudian terjadi adalah kebingungan
masyarakat untuk menentukan pilihan gaya dan cara hidup. Padahal, bagaimanapun
setiap bangsa dan negara mempunyai ukuran-ukurannya tersendiri yang menjadikan
pedoman pelaksanaan langkah-langkah pembangunannya. Ukuran-ukuran tersebut
sudah barang tentu pertama-tama merujuk kepada ideologi suatu negara tersebut
sebagai cita-cita berbangsa dan bernegara.
Sehingga, logis dalam berbagai
aspek kehidupan bangsa Indonesia semakin terpuruk. Untuk dapat keluar dari
krisis multidimensi yang berkepanjangan, menemukan solusi yang memadai dan
kompatibel terhadap problem kebangsaan, diperlukan langkah dan terobosan
strategis yang bersifat lintas agama, ras, kelompok dan golongan; dengan
mengutamakan spirit nasionalisme.
Di tengah peristiwa yang sedang
menghantui pergulatan kehidupan kita sebagai bangsa dan negara, yaitu dideranya
oleh berbagai persoalan, bahkan situasi dan kondisi dunia dengan berbagai
ancaman krisis energi, krisis pangan, bencana alam, pemanasan global, dan
kerusakan lingkungan hidup yang membahayakan kelangsungan hidup manusia, serta
krisis ekonomi global, telah tampak pada pergaulan dan pergumulan kehidupan
kita.
Pada titik simpul
persoalan-persoalan tersebut di atas, sangat krusial, menyoal relevansi
filsafat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apa konseptualisasi filsafat?
Apa kehidupan berbangsa dan bernegara? Bagamana ujud relevansi antara filsafat
dengan kehidupan berbangsa dan bernegara? Tulisan ini memncoba akan
membicarakan seputar itu, oleh karena menyangkut persoalan paradigmatik yang mendasar
dalam melihat proses berbangsa dan bernegara.
Konseptualisasi Filsafat
Filsafat itu
sendiri telah muncul sejak ribuan tahun yang lalu di mana akal manusia masih
dihadapkan pada ruang dinamika pemikiran yang sederhana dan permasalahan yang
tidak begitu kompleks seperti saat ini. Filsafat, sering disebut sebagai
ratunya ilmu-ilmu. Sejak awal perkembangannya hingga sekarang tak pernah lepas
dari konteks kultural masyarakat dimana ia berada dan berkembang.
Di masa Yunani kuno, disebut
sebagai langkah awal pembebasan akal manusia dari budaya mitis yang membelenggu
potensi-potensi rasional manusia. Berkembangnya kesadaran baru bahwasanya akal
manusia memiliki kekuatan yang luar biasa tajam untuk membedah segala
persoalan. ”Kritis! Itu adalah kata kunci yang dipegang semua filosof sepanjang
zaman”, jelas Donny Gahral Adian (2002: 1).
Berfilsafat didorong untuk
mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Menurut Jujun
S. Suriasumantri (2001: 19) “Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak
semaunya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas
ini. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian
untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah
kita jangkau.”
Filsafat berasal dari bahasa
Yunani “Philosopia”. Philein artinya “cinta” dan “sophia” artinya
“kebijaksanaan”. Jadi, secara harifiah filsafat berarti mencintai
kebijaksanaan. Dalam perkembangannya, filsafat memiliki brbagai macam
pengertian, antara lain:
1.
cinta kebijaksanaan.
2.
Ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat segala
sesuatu untuk memperoleh kebenaran dan kenyataan.
3.
Hasil pikiran yang kritis dan dikemukakan dengan
cara yang sistematis.
4.
Hasil pikiran manusia yang paling dalam.
5.
Pendalaman lebih lanjut dari ilmu pengetahuan.
6.
Pandangan hidup.
7.
Hasil analisa dari abstraksi.
8.
Anggapan dasar.
9.
Bersifat
Kritis – Rasional, Kritis –Reflektif, Radikal, Tidak Fragmentaris, Universal.
10.
Kritis,
analitis, evaluatif dan abstraksif.
Filsafat merupakan suatu
reflektisi yang merupakan kegiatan akal budi, perenungan….. yang direfleksikan
filsafat adalah apa saja yang tidak terbatas pada bidang/tema terentu. (Achmad
Charris Zubair; 1987: 7-8). Donny Gahral Adian (2002: 3) mendefinisikan
filsafat sebagai “upaya mencari atau memperoleh jawaban atas berbagai
pertanyaan lewat penalaran sistematis yang kritis, radikal, reflektif, dan
integral.”
Dengan demikian, sebagaimana
dijelaskan di atas, bahwa berfilsafat sesungguhnya dimulai dari rasa ingin
tahu, dan kepastian dimulai dari ragu-ragu. Oleh karena itu karakteristik
berfikir filsafat, seperti dijelaskan Donny Gahral Adian (2002:3) “Filsafat
membedakan dirinya baik dari ilmu pengetahuan lewat pendekatannya yang integral
dalam arti filsafat tidak mengkaji semesta dari satu sisi saja namun secara
menyeluruh. Filsafat bersifat kritis dalam mengkaji objeknya, ia tidak pernah
berhenti pada penampakkan, asumsi, dogmatisme melainkan terus mengajukan
pertanyaan-pertanyaan demi mencapai hakikat. Radikal berasal dari akar kata
“radix” yang berarti akar. Filsafat selalu menggunakan daya kritisnya untuk
mengkaji suatu objek sampai ke akar-akarnya. Selain kritis-radikal, filsafat
bersifat reflektif dalam memahami objeknya, ia selalu berusaha mengendapkan apa
yang ia tangkap (gejala-gejala) untuk diolah dan pada akhirnya menghasilkan
pengetahuan yang jernih.”
Seiring dengan pendapat di atas,
Jujun S. Suriasumantri (2001: 20) menjelaskan karakteristik berfikir filsafat,
adalah sebagai berikut:
a. Sifat menyeluruh.
Seorang ilmuwan tidak puas lagi
mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat
hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan
ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. dia ingin tahu apakah ilmu itu
membawa kebahagiaan kepada dirinya. (Pendek kata, seorang ilmuwan tidak picik
dalam memandang keilmuan; — penjelasan penulis). Dan kita pun lalu menyadari
kebodohan kita sendiri. Yang saya tahu, simpul Sokrates, ialah bahwa saya tak
tahu apa-apa!.
b. Sifat mendasar.
Seorang yang berfikir filsafat
selain menengadah ke bintang-bintang, juga membongkar tempat berpijak secara
fundamental. Jadi karakteristik berfikir filsafati adalah mendasar, fundamental
atau radikal (sampai ke akar-akarnya). Dia tidak percaya begitu saja bahwa ilmu
itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian
berdasarkan kriterias tsb dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu
benar sendiri itu apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar.
Dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus mulai dari satu titik, yang awal dan
pun sekaligus awal. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar?
c. Sifat spekulatif.
Ragukan bahwa langit dan bumi
itu berlapis-lapis. Bahwa kita pun tidak yakin kepada titik awal yang menjadi
jangkar pemikiran yang mendasar. Dalam hal ini kita hanya berspekulasi sebagai
ciri filsafat yang ketiga.
Kita mulai mengernyitkan kening
dan timbul kecurigaan terhadap filsafat: bukankah spekulasi ini suatu dasar
yang tidak bisa diadakan? Dan seorang filsuf akan menjawab: memang namun hal
ini tidak bisa dihindarkan. Menyusur sebuah lingkaran kita harus mulai dari
sebuah titik bagaimanapun juga spekulatifnya. Yang penting adalah bahwa dalam
prosesnya, baik dalam analisis maupun pembuktiannya, kita bisa memisahkan
spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak. Dan tugas utama
filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan.
Philosopia atau filsafat berarti
cinta pada kebijaksanaan. Cinta artinya hasrat yang kuat atau yang
bersungguh-sungguh, sedangkan kebijaksanaan dapat diartikan sebagai kebenaran
sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Oleh karena itu fungsi filsafat
adalah:
a. mengajukan pertanyaan yang
tidak diajukan dalam ilmu empirik.
b. Mengadakan revolusi di dalam
persepsi.
c. Mencegah pemikiran rutin dan
mengembalikannya kepada pemikiran reflektif
d. Mencegah pemikiran mekanistik
dan mengembalikannya ke pemikiran aktif dan kreatif. (Rangkuman diskusi
penelitian filsafat Yayasan Filsafat Indonesia, Jakarta 15 – 2 – 1985).
e. Berfilsafat berarti berendah
hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah kita ketahui … Mengetahui
kekurangan bukan berarti merendahkanmu, namun secara sadar memanfaatkan, untuk
terlebih jujur dalam mencintaimu. (Jujun; 2001: 20).
Hal ini berarti orang yang
berfilsafat adalah orang yang memiliki keinginan untuk mengetahui kebenaran
yang sesungguhnya. Filsafat akan dijadikan pegangan atau pedoman untuk mencari
kebenaran. Dengan kata lain, filsafat adalah pandangan hidup dan landasan
pemikiran yang bersumber pada kebijakan moral yang digunakan untuk mengetahui,
mempelajari, dan menganalisis sesuatu fenomena alam maupun sosial untuk
memperoleh jawaban yang benar atas fenomena tersebut untuk kemudian
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Berbangsa dan Bernegara
Proses bangsa yang menegara
memberikan gambaran tentang bagaimana terbentuknya bangsa, di mana sekelompok
manusia yang berada di dalamnya merasa sebagai bagian dari bangsa. Negara
merupakan organisasi yang mewadahi bangsa. Bangsa tersebut merasakan pentingnya
keberadaan Negara, sehingga tumbuhlah kesadaran untuk mempertahankan tetap
tegak dan utuhnya Negara melalui upaya bela Negara. Upaya ini dapat terlaksana
dengan baik apabila tercipta pola pikir, sikap dan tindak/perilaku bangsa yang
berbudaya yang memotivasi keinginan untuk membela Negara: bangsa yang
berbudaya, artinya bangsa yang mau melaksanakan hubungan dengan
penciptanya/”Tuhan” disebut Agama; bangsa yang mau berusaha, untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya disebut Ekonomi; bangsa yang mau berhubungan dengan
lingkungan, sesama, dan alam sekitarnya disebut Sosial; bangsa yang mau hidup
aman tentram dan sejahtera dalam Negara disebut Pertahanan dan Keamanan.
Pada zaman modern adanya Negara
lazimnya dibenarkan oleh anggapan atau pandangan kemanusiaan. Demikian pula
halnya dengan bangsa Indonesia. Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945 merumuskan
bahwa adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah karena kemerdekaan adalah
hak segala bangsa sehingga penjajahan yang bertentangan dengan peri kemanusiaan
dan peri keadilan harus di hapuskan. Apabila “dalil” ini kita analisis secara
teoritis, hidup berkelompok baik masyarakat, berbangsa maupun bernegara
seharusnya tidak mencerminkan eksploitasi sesama manusia (penjajahan) melainkan
harus berperikemanusiaan dan berperikeadilan. Inilah teori pembenaran paling
mendasar dari bangsa Indonesia tentang bernegara. Hal yang kedua yang
memerlukan suatu analisis ialah bahwa kemerdekaan merupakan hak segala bangsa.
Tetapi dalam penerapannya sering timbul pelbagai ragam konsep bernegara yang
saling bertentangan. Perbedaan konsep tentang Negara yang dilandasi oleh
pemikiran ideologis adalah penyebab utamanya. Karena itu, kita perlu memahami
filosofi ketatanegaraan tentang makna kebebasan atau kemerdekaan suatu bangsa
dalam kaitannya dengan ideologinya. Namun di zaman modern, teori yang universal
ini tidak diikuti orang. Kita mengenal banyak bangsa yang menuntut bangsa yang
sama. Orang kemudian beranggapan bahwa untuk memperoleh pengakuan dari bangsa
lain, suatu Negara memerlukan mekanisme yang lazim disebut proklamasi
kemerdekaan.
Pertama, terjadinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu proses yang tidak sekadar dimulai
dari proklamasi. Perjuangan kemerdekaan pun mempunyai peran khusus dalam
pembentukan ide-ide dasar yang dicita-citakan.
Kedua, Proklamasi baru
“mengantar bangsa Indonesia” sampai ke pintu gerbang kemerdekaan. Adanya
proklamasi tidak berarti bahwa kita telah “selesai”bernegara.
Ketiga, Keadaan bernegara yang
kita cita-citakan belum tercapai hanya dengan adanya pemerintahan, wilayah, dan
bangsa, melainkan harus kita isi untuk menuju keadaan merdeka, berdaulat,
bersatu, adil dan makmur.
Keempat, terjadinya Negara
adalah kehendak seluruh bangsa, bukan sekadar keinginan golongan yang kaya dan
yang pandai atau golongan ekonomi lemah yang menentang golongan ekonomi kuat
seperti dalam teori kelas.
Kelima, Religiositas yang tampak
pada terjadinya Negara menunjukkan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Unsur kelima inilah yang kemudian diterjemahkan menjadi
pokok-pokok pikiran keempat yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu
bahwa Indonesia bernegara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang
(pelaksanaannya) didasarkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab.
Negara kebangsaan yang berbentuk
kepulauan Indonesia terbentuk dengan karakteristik unik dan spesifik. Berbeda
dengan Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Yunani serta Negara-negara Eropa Barat
lainnya, yang menjadi suatu negara bangsa (nation state) karena kesamaan
bahasa. Atau Australia, dan juga negara-negara Asia Selatan lainnya, yang
menjadi satu bangsa karena kesamaan wilayah daratan. Latar belakang historis
dan kondisi sosiologis, antropologis dan geografis Indonesia yang unik dan
spesifik seperti, bahasa, etnik, atau suku bangsa, ras dan kepulauan menjadi
komponen pembentuk bangsa yang paling fundamental dan sangat berpengaruh
terhadap realitas kebangsaan Indonesia saat ini.
Negara kebangsaan kita juga
terbentuk atas prakarsa dan usaha yang “berdarah-darah” dari founding fathers
dan seluruh pejuang Indonesia, yang tanpa kenal lelah keluar masuk penjara dan
dibuang ke tempat pengasingan, serta gugur sebagai pahlawan bangsa, oleh
pemerintah kolonial atau penjajah guna memantapkan rasa dan semangat kebangsaan
Indonesia yang resminya lahir pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 — sebelumnya
diawali dengan terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 yang menandai
Kebangkitan Nasional Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia lahir melalui
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan UUD 1945 yang ditetapkan oleh PPKI
pada 18 Agustus 1945, yang pada bagian pembukaannya memuat Pancasila sebagai
dasar negara. Pancasila merupakan sublimasi dan kristalisasi dari pandangan
hidup (way of life) dan nilai-nilai budaya luhur bangsa yang mempersatukan
bangsa kita yang beraneka ragam suku atau etnik, ras, bahasa, agama, pulau,
menjadi bangsa yang satu, Indonesia.
Keterkaitan nilai-nilai
Pancasila itulah, maka Pancasila sebagai sebuah momen bangsa, bahkan jelas
Kuntowijoyo (1994) ”sebagai puncak pemikiran tentang hati nurani yang terdalam,
dan sekaligus suatu dokumen hidup yang secara terus menerus dapat dipakai
sebagai referensi.”
Filsafat dan Problem Berbangsa
dan Bernegara
Reformasi telah berlangsung
sekitar 11 tahun. Perjalanan kehidupan negara dan bangsa masih saja jauh dari
harapan. Dengan perkataan lain, perjalanan kehidupan negara bangsa ini, apakah
telah tumbuh sebagaimana yang diharapkan para pendiri bangsa (founding
fathers)? Apakah kita sebagai bangsa Indonesia mempunyai ukuran-ukuran
implementatif untuk merajut hidup dan kehidupan yang beradab yang
dioperasionalisasikan dari nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara ini?
Memang, bila menengok ke
belakang, nilai-nilai Pancasila dalam pelaksanaannya berulang kali diselewengkan
oleh rezim, karena proses politik yang kerapkali memanipulasi Pancasila hanya
demi kekuasaan semata. Nilai-nilai Pancasila yang sesungguhnya hampir tidak
bisa dielakkan oleh siapapun, karena mengandung nilai-nilai kemanusiaan dalam
tataran implementasinya justru sebaliknya. Dengan perkataan lain, makna tentang
Pansasila untuk mengguide (membimbing) dan membantu kita dalam pemahaman
bernegara dan berbangsa, acapkali direduksi oleh wilayah kepentingan tertentu.
Dengan perkataan lain, Pancasila yang mengandung nilai-nilai dasar yang relevan
dengan proses dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, baik secara
filosofis, yuridis, maupun sosiologis, justru ditinggalkan.
Dalam konteks inilah atau untuk
menciptakan SDM yang berkualitas dan handal maka salah satu yang diperlukan,
yaitu suatu sistem dan produk pendidikan yang tidak saja berfungsi sebagai
mekanisme kelembagaan pokok untuk mengembangkan keahlian dan pengetahuan, namun
juga mengupayakan terciptanya sumber daya manusia (SDM) yang mampu berpikir kritis,
komprehensif dan integral dengan dilandasi oleh kepribadian yang mantap dalam
menjunjung tinggi moralitas dan kearifan lokal yang ada, tumbuh dan berkembang
dalam kehidupan negara bangsa.
Artinya, bahwa setiap negara dan
bangsa di manapun tentu memiliki filsafat hidupnya. Pancasila sebagai falsafah
negara bangsa ini, dan ideologi merupakan suatu sistem nilai yang memberikan
motivasi, tekad dan berjuang. Ideologi sesungguhnya merupakan kebulatan ajaran
tentang kehidupan yang dicita-citakan (pandangan hidup) kenegaraan dan
kemasyarakatan. Atau ideologi sebagai suatu gagasan yang berdasarkan suatu idea
tertentu, yang menjadi pedoman perjuangan untuk mewujudkan idea tersebut. Bagi
bangsa dan negara Indonesia yang dimaksud ideologi adalah Pancasila sebagai
pandangan hidup, jiwa dan kepribadian, dasar negara Indonesia. Pancasila
menjadi pegangan dan pedoman bagaimana bangsa Indonesia memecahkan
masalah-masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya yang timbul dalam gerak
masyarakat yang semakin majemuk.
Dengan demikian, ideologi
memberikan dasar etika pelaksanaan kekuasaan politik, dapat mempersatukan
rakyat suatu negara. Ideologi memungkinkan adanya komunikasi simbolis antara
pemimpin dengan yang dipimpin untuk berjuang bahu membahu demi prinsip
kepentingan bersama. Ideologi juga memberikan pedoman untuk memilih kebijakan.
Para pendiri bangsa yang
diwujudkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ideologi Pancasila bersumber pada
cara pandang integralistik yang mengutamakan gagasan tentang negara yang
bersifat persatuan. Ideologi Pancasila sebagai suatu kesatuan tata nilai
tentang gagasan-gagasan yang mendasar, yang didasarkan pada pandangan hidup
bangsa, yang merupakan jawaban terhadap diperlukannya falsafah dasar negara
Republik Indonesia.
Dalam kaitannya Pancasila
sebagai falsafah bernegara dan berbangsa, telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD
1945 alinea ke 4 sebagai berikut: ”… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemanusiaan yang adil beradab.
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia”.
Maksudnya, bahwa Pancasila mampu
mempersatukan seluruh rakyat Indonesia yang plural dengan persamaan dalam
perbedaan, menjadi sumber dari segala sumber hukum dalam tatanan bernegara,
tatanan dinamika gerak kenegaraan atau pemerintahan, tatanan hidup kehidupan
beragama, tatanan hukum, tatanan pekerjaan yang layak dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan, tatanan kesejahteraan sosial atau perekonomian, tatanan
pertahanan keamanan, tatanan pendidikan dan sebagainya, yang secara
instruksionalnya tergambarkan dalam pasal-pasal konstitusi Undang-Undang Dasar
1945 yang mengikat dalam penyelenggaraan bernegara.
Pancasila sebagai ideologi,
sesungguhnya mengandung dimensi ideologi murni dan praktis. Kuntowijoyo (1994)
menjelaskan bahwa: Ideologi murni lahir dari khazanah sejarah masa lampau,
sedangkan ideologi praktis dapat diamati sepanjang perjalanan sejarahnya. Kalau
latar belakang budaya dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia telah menjadi
dasar penyusunan sila-sila Pancasila, maka pengalaman sejarah dalam Revolusi
Kemerdekaan, periode percobaan dengan demokrasi liberal, periode demokrasi
terpimpin, dan periode pembangunan sekarang ini ( Orde Baru – penjelasan
penulis) menjadi dasar bagi penyusunan ideologi praktis itu. Sebuah ideologi
mengandung kedua unsur, murni dan praktis, yang masing-masing akan saling
menunjuk. Jika ideologi murni itu kurang lebih permanen, maka ideologi praktis
dapat saja berubah.
Bahkan lanjut Kuntowijoyo,
selain itu, sebuah ideologi mempunyai unsur yang penting yaitu idealisme. Maka
ketika kita berbicara Ideologi Pancasila sebagai hasil dari sebuah proses,
sejarah merupakan satu-satunya pembenar terhadap ideologi. Ideologi juga
dimaksudkan untuk mengubah sejarah, dalam arti bahwa ia mempunyai rujukan dalam
aktualisasi, tetapi tidak semata-mata menyerah kepada perintah-perintah sejarah
yang dipaksakan…… hubungan antara ideologi murni dengan realitas sejarah
diwujudkan dalam ideologi praktisnya, yaitu bagaimana seharusnya realitas itu
ditafsirkan dan diberikan jalan ke pemecahan persoalan-persoalannya. Pendekatan
sebuah ideologi seperti Ideologi Pancasila bukanlah semata-mata sebuah praxis,
tetapi juga sebuah nilai, cita-cita, harapan, bahkan sebuah impian yang ingin
diwujudkan.
Dengan demikian, gagasan-gagasan
dasar yang dikemukakan oleh ideologi Pancasila sebagai falsafah negara,
sesungguhnya dapat ditelusuri di dalam Undang-Undang Dasar 1945, karena secara
konstitusional itu telah menjadi pijakan bernegara dan berbangsa. Sebagaimana
dijelaskan oleh PadmoWahjono (1993: 235) yaitu sebagai berikut:
• Mengenai bermasyarakat, yang
kita jumpai nilai-nilai dasarnya di alinea I Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945;
• Mengenai bernegara, yang kita
jumpai pada alinea II Pembukaan;
• Mengenai terjadinya negara,
yang kita jumpai pengertiannya di dalam alinea III Pembukaan;
• Mengenai tujuan bernegara,
pengertian kerakyatan atau demokrasi, dan kedaulatan rakyat atau kekuasaan
tertinggi di dalam negara yang berada pada rakyat, kesemuanya dirumuskan di
dalam alinea IV Pembukaan.
Jadi, setiap negara lahir dan
berdiri, sesungguhnya karena didasari oleh suatu cita-cita dan tujuan yang
ingin diraihnya dalam penyelenggaraan bernegara bagi kehidupan masyarakatnya.
Cita-cita yang ingin diraih itu, diwujudkannya dalam ideologi negara tersebut
sebagai pijakan arah perjuangannya. Tanpa memiliki cita-cita dan tujuan, tampak
akan kehilangan arah dalam merealisasikannya. Itu sebabnya, setiap pemahaman
atau konsep tentang negara bergantung pada pemahaman atau konsep yang tepat
tentang tujuan-tujuan Negara. Persoalannya apa tujuan-tujuan lembaga yang
disebut Negara? Jellinek membagi dua tujuan Negara, yaitu yang objektif dan
subjektif. Objektif dibagi dalam objektif universal/umum dan objektif partikuler/khusus.
Tentang tujuan Negara yang
objektif universal, jauh hari sudah dibicarakan sejak Plato. Aliran ini
mendeskripsikan tujuan Negara adalah dirinya sendiri, Negara sendiri merupakan
tujuan, karena Negara sebagai organisme. Tujuan Negara yang objektif partikuler,
dipilih dan ditetapkan oleh Negara masing-masing berdasarkan perkembangan
sejarahnya sendiri. Adapun tujuan Negara yang subyektif bahwa tujuan-tujuan
Negara beraneka ragam berdasarkan pandangan masing-masing negara hingga kepada
aspek-aspek dan sifat-sifat tujuan itu sendiri secara khusus individual.
Bagaimana tujuan Negara
Indonesia sendiri? Tujuan Negara RI dapat disimak pada Pembukaan UUD 1945:
a. Alenia kedua, …Negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
b. Untuk mencapai tujuannya itu,
maka dibentuklah suatu Pemerintahan Negara yang mempunyai fungsi seperti nampak
pada tujuan (menurut Jellinek adalah alat yang saling bertukaran dengan
tujuan), yaitu:
• Melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
• Memajukan kesejahteraan umum;
• Mencerdaskan kehidupan bangsa;
dan
• Ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tujuan Negara RI mempunyai
tujuan bersifat objektif particular, namun dalam menyimak fungsi pemerintahan
Negara RI, mempunyai tujuan universal. seperti ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Peran dan fungsi ideologi
Pancasila terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia hendaknya
dilihat Pancasila sebagai dasar/ideologi negara yang telah dirumuskan dalam
Pembukaan UUD 1945 dan jabarannya dalam pasal-pasal (termasuk yang telah
diamandemen). Ketentuan-ketentuan dalam konstitusi (UUD 1945) merupakan
kebijakan umum nasional yang telah ditetapkan wakil-wakil rakyat di dalam
sidangnya, dan kebijakan yang bersifat umum tersebut diperinci dalam bentuk
perundang-undangan yang dibuat pemerintah bersama-sama dengan DPR. Penentuan
kebijakan umum Negara tersebut, berikutnya fase implementasi kebijakan
tersebut.
Nilai-nilai Pancasila sebagai
falsafah dan ideologi nasional Negara Republik Indonesia, niscaya dapat
terinternalisasi di dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, melalui
sosialisasi nilai-nilai Pancasila tersebut yang tidak bersifat indoktrinasi,
sehingga dapat membudaya di kalangan masyarakat. Bila itu dirumuskan dalam
konseptualisasi kebijakan bernegara dan berbangsa, maka nilai-nilai Pancasila
sebagai ideologi nasional dapat berkembang dan bertahan terhadap gempuran
ideologi-ideologi lain. Ini berarti, penyelenggaraan pemerintahan Negara
Indonesia, dapat merumuskan dan mengambil langkah-langkah yang tepat dalam
setiap kebijakan-kebijakannya. Namun dapat pula terjadi sebaliknya, bila memang
nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi nasional, hanya dijadikan sebagai alat
politik kekuasaan pemegang kekuasaan, tentu saja ideologi Pancasila semakin
terpinggirkan di bumi nusantara ini, dan terdesak, bahkan luntur oleh ideologi
lain.
Kesimpulan
Dari pembahasan-pembahasan di
atas, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
1. Nilai-nilai Pancasila secara
objektif dan subjektif senantiasa terus dikembangkan, karena Pancasila sebagai
falsafah dan ideologi harus tetap memberikan arah kehidupan berangsa dan
bernegara seiring dengan perkembangan dinamika perubahan dunia dan harus terus
menjadi ukuran implementasi dalam bernegara dan berbangsa.
2. Negara kebangsaan Indonesia
terbentuk oleh kesamaan sejarah masa lalu, maka ke depan perlu dimantapkan lagi
dengan adanya kesamaan cita-cita, pandangan, harapan, dan tujuan tentang masa
depannya. Oleh karena itu, sebuah negara bangsa membutuhkan landasan filosofis,
tanpa itu, berarti negara bangsa hidup tanpa pedoman.
3. Agar Pancasila sebagai
falsafah dan ideologi hidup bangsa tetap mempunyai semangat untuk diperjuangkan
dan dipertahankan oleh rakyat Indonesia, maka harus terus menggali dan
mengkontekstualisasikan nilai-nilai luhur Pancasila dengan konteks zaman
kekinian. Oleh karena itu, Pancasila perlu disosialisasikan agar dipahami oleh
dunia sebagai landasan filosofis bangsa Indonesia dalam mempertahankan
eksistensi dan mengembangkan dirinya menjadi bangsa yang sejahtera,
berkeadilan, serta demokratis.
4. Terakhir, harus menjadi tugas
bersama untuk mengartikulasikan keinginan rakyat untuk maju melalui upaya
kontekstualisasi dan implementasi Pancasila dari berbagai aras kehidupan
berbangsa dan bernegara, maka Pancasila harus selalu terbuka dan membuka
dirinya untuk diinterpretasi tentunya dalam koridor keilmuan yang kritis dan
ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA :
Adian, Donny
Gahral, 2002, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, Teraju Khazanah Pustaka Keilmuan, Jakarta.
Kuntowijoyo, 1994, Demokrasi
& Budaya Birokrasi, Bentang Budaya, Yogyakarta
Rodee, Carlton Clymer, 1993,
Pengantar Ilmu Politik, Rajawali Pers, Jakarta
Sukarna, 1981, Ideologi Suatu
Studi Ilmu Politik, Alumni, Bandung.
Sumarsono, S. Drs. Dkk.
Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Suseno, Franz
Magnis, 1994, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Suriasumantri,
Jujun S., 2001, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
UUD 1945
Amandemen Keempat.
Zubair, Achmad Charis, 1987,
Kuliah Etika, Rajawali Pers, Jakarta
http://www.Indonesiastrategi.com
tanggal akses 15 Juni 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar