JAKARTA:
Pengembangan koperasi di Indonesia terus membaik meski belum sempurna, oleh
karena itu ekonomi kerakyatan tersebut
harus didorong secara optimal untuk menjadi kekuatan nasional berbasis akar
rumput.
Frans
Meroga, Direktur Operasional Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Nasari, mengatakan
kekuatan berbasis kerakyatan itu harus didukung, karena selama ini masih banyak
aksi kapitalisme dan neoliberalisme di Indonesia.
3”Praktek-praktek kapitalisme di Indonesia bahkan lebih liberal
dibandingkan dengan negara-negara yang selama ini memang benar-benar menganut
sistem kapitalisme,” katanya kepada BIsnis, hari ini, Jumat (26/10).
Di
kawasan negara-negara Barat bahkan melakukan proteksi terhadap produknya,
karena memiliki kepentingan kepada rakyat. Sebaliknya di Indonesia yang bukan
menganut sistem kapitalisme, semua mekanismenya diserahkan kepada pasar. Inilah
menurutnya sudah keluar dari nilai-nilai Pancasila.
Dengan
alasan itu dia meminta pemerintah mendukung gerakan masyarakat koperasi, meski
support itu sudah diberikan melalui lahirnya Undang-undang Perkoperasi terbaru
yang menggantikan Undang-undang Koperasi Nomor 25 Yahun 1992.
Apalagi
dalam undang-undang terbaru itu mempertegas pendirian lembaga penjaminan
simpanan dan pengawasan. Kelahiran kedua lembaga itu akan meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga koperasi.
Namun dia
belum puas, karena selama ini arsitektur pembiayaan terhadap mikro belum
tertata dengan benar. Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang pembiayaan mikro
masih cenderung ditandai terjadinya “kanibalisasi” antara perbankan dan
koperasi.
”Oleh
karena itu pengambil kebijakan, terutama dari pemerintah harus bisa merumuskan
dengan benar konsep arsitektur pembiayaan dengan tepat. Khususnya antara perbankan dan koperasi harus
melakukan linked program, bukan berkompetisi merebut pasar mikro.”
Apabila
kedua lembaga itu dibiarkan berkompetisi, akibatnya akan terjadi pertaruangan
seperti gajah dengan semut, dan yang kalah adalah semut, atau dalam konteks ini
adalah lembaga keuangan mikro (koperasi).
Jika
kondisi seperti itu tidak diinginkan terjadi secara berkesinambungan, maka
keadilan sosial dalam perspektif ekonomi harus dilakukan. “Dalam konteks ini
aktor utamanya adalah pemerintah pusat,” tutur Frans Meroga. (Bsi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar