Selasa, 30 Oktober 2012

Ekonomi koperasi , kinerja membaik tapi belum sempurna


JAKARTA: Pengembangan koperasi di Indonesia terus membaik meski belum sempurna, oleh karena itu  ekonomi kerakyatan tersebut harus didorong secara optimal untuk menjadi kekuatan nasional berbasis akar rumput.

Frans Meroga, Direktur Operasional Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Nasari, mengatakan kekuatan berbasis kerakyatan itu harus didukung, karena selama ini masih banyak aksi kapitalisme dan neoliberalisme di Indonesia.

3”Praktek-praktek  kapitalisme di Indonesia bahkan lebih liberal dibandingkan dengan negara-negara yang selama ini memang benar-benar menganut sistem kapitalisme,” katanya kepada BIsnis, hari ini, Jumat (26/10).

Di kawasan negara-negara Barat bahkan melakukan proteksi terhadap produknya, karena memiliki kepentingan kepada rakyat. Sebaliknya di Indonesia yang bukan menganut sistem kapitalisme, semua mekanismenya diserahkan kepada pasar. Inilah menurutnya sudah keluar dari nilai-nilai Pancasila.

Dengan alasan itu dia meminta pemerintah mendukung gerakan masyarakat koperasi, meski support itu sudah diberikan melalui lahirnya Undang-undang Perkoperasi terbaru yang menggantikan Undang-undang Koperasi Nomor 25 Yahun 1992.

Apalagi dalam undang-undang terbaru itu mempertegas pendirian lembaga penjaminan simpanan dan pengawasan. Kelahiran kedua lembaga itu akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga koperasi.

Namun dia belum puas, karena selama ini arsitektur pembiayaan terhadap mikro belum tertata dengan benar. Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang pembiayaan mikro masih cenderung ditandai terjadinya “kanibalisasi” antara perbankan dan koperasi.

”Oleh karena itu pengambil kebijakan, terutama dari pemerintah harus bisa merumuskan dengan benar konsep arsitektur pembiayaan dengan tepat.  Khususnya antara perbankan dan koperasi harus melakukan linked program, bukan berkompetisi merebut pasar mikro.”

Apabila kedua lembaga itu dibiarkan berkompetisi, akibatnya akan terjadi pertaruangan seperti gajah dengan semut, dan yang kalah adalah semut, atau dalam konteks ini adalah lembaga keuangan mikro (koperasi).

Jika kondisi seperti itu tidak diinginkan terjadi secara berkesinambungan, maka keadilan sosial dalam perspektif ekonomi harus dilakukan. “Dalam konteks ini aktor utamanya adalah pemerintah pusat,” tutur Frans Meroga. (Bsi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar